Minggu, 30 Oktober 2011

Johnny English Reborn





Di sebuah kuil, di Tibet, adalah tempat di mana Johnny English (Rowan Atkinson) menduga-duga, seberapa luas hamparan sebuah kapasitas hati yang dimilikinya, untuk memaafkan dirinya sendiri akibat suatu kesalahan. Ia berada di sana dalam rangka mengasah keterampilan bela dirinya, dan—ini yang paling penting—membuang jauh sebongkah masa lalu yang memilukan. Dan setelah bertahun-tahun mengasingkan diri di tempat itu, lewat sebuah kabar mengejutkan dan satu anggukan kepala dari guru spiritualnya, ia tiba-tiba sudah berada di Inggris; untuk sebuah penebusan, untuk menyelesaikan sebuah kepercayaan negara, dalam Johnny yang baru.

Seperti film pendahulunya, dengan formula khas film James Bond kebanyakan, Johnny English tersaji dengan corak yang super konyol. Tak ada yang terlalu serius untuk disaksikan—kecuali raut wajah Johnny yang acap kali sok paham dan serius. 

Menurut informasi yang didapatkan dari intelijen, ada usaha pembunuhan yang ditujukan pada Perdana Menteri China. Akan sangat mengerikan, karena bila hal itu terjadi,  ditengarai dunia bakal kacau balau dan perang dunia tak akan sanggup lagi terelakkan. Tugas Johnny adalah mencari siapa dalang dan menggagalkan rencana pembunuhan tersebut.

Kerumitan semakin kompleks, ketika upaya jahat ini ternyata selain melibatkan agen rahasia dari CIA dan KGB, juga melibatkan MI7!

Tawa—bagi sebagian—penonton mungkin akan langsung meledak bahkan dari awal film ini baru bergulir. Dalam serial komedi fenomenal Mr. Bean, sosok Rowan Atkinson yang ditampilkan lucu, egois, banyak akal, dan sering menghadapi situasi konyol karena ulah dan perbuatannya, secara gamblang ditampilkan juga di Johnny English. Oliver Parker sang sutradara, paham betul bagaimana cara mengeksploitasi seorang Rowan Atkinson yang begitu khas dan berkarakter.

Kali ini, Johnny mempunyai partner muda nan ulet bernama Tucker (Daniel Kaluuya), yang lagi-lagi bisa dibilang lebih cermat darinya, namun masih kurang jam terbang. Tetapi walaupun seringkali sial dan berkelakuan tak wajar, seorang behavioural psychologist cantik MI7, Kate Summer (Rosamund Pike), malah kepincut pada Johnny, karena kejujuran dan aura Johnny yang tak biasa, yang seringkali dipandang aneh oleh anggota MI7 lainnya.

Masalah semakin pelik, ketika konflik tak berkesudahannya dengan seorang nenek pembersih debu yang juga pembunuh bayaran (Pik-Sen Lim), membuat hari-hari Johnny dilanda kesiagaan.

Bisa dikatakan, Johnny English adalah tontonan yang wajib disaksikan oleh para penggemar Rowan Atkinson dan film-film bergenre sejenis. Dalam keseharian kita yang mungkin seringkali berada pada titik jenuh, film ini—setidaknya bagi saya—cukup ampuh untuk melelehkan perasaan lelah, perasaan jemu yang menggumpal, perasaan yang butuh pelonggaran, sebelum kenyataan akan memeluk kita lagi.  Bravo English!











4/5

Selasa, 25 Oktober 2011

Sang Penari






Seorang pemuda berjalan dengan tenang—lain dengan suasana hatinya—menyusuri desa yang gersang dan senyap sambil terus menjaga ekor matanya. Bahkan ia sendiri pun tahu, kedatangannya di desa itu tak akan membuat ia bisa menemukan dan memboyong kekasihnya, Srintil (Prisia Nasution). Sementara kang Sakum (Hendro Djarot), penabuh kendang uzur yang—beruntung—tak diangkut tentara itu, tak bisa memberikan informasi apa-apa.

Ifa Isfansyah, sang sutradara, membuat proyek visualisasi elektronik ini dari cerita fenomenal berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (1981) karya Ahmad Tohari. Munculah sekelumit ketakutan dan rasa kekurangtebalan harapan, ketika sebuah pengadaptasian novel—yang notabene legendaris—dituangkan ke dalam sebuah media visual. Penerjemahan seperti itu butuh upaya yang tidak mudah dan riskan bias terhadap karya aslinya; bukan karena apa-apa, dahulu Ronggeng Dukuh Paruk juga sudah divisualisasikan dalam film berjudul Darah dan Mahkota Rongeng (1983) dan banyak yang menyayangkan karena pesan yang disampaikan jauh melenceng dari apa yang ada dalam novel (walaupun banyak juga karya penerjemahan yang sanggup membuat penikmat novel dan film sekaligus berada dalam klimaks kepuasan yang hebat). 

Rasus (Nyoman Oka Antara), tentara yang kini telah gagah itu, hanya ingin bertemu tambatan hatinya—yang juga merupakan sahabat dari kecilnya—Srintil. Ia juga dengan sekuat tenaga mendesak rasa sakit hatinya untuk tetap kalem dan rela diinjak-injak oleh atasannya, yang akhirnya mematahkan kalimat janjinya: “Sak malem itu kamu dadi ronggeng, aku nggak pernah mau balik kesini..,” karena benci Srintil menjadi “milik bersama”.

Tetapi Srintil punya alasan yang tak pernah bisa Rasus lawan—dan Rasus tahu itu. Selain besarnya kecintaan Srintil terhadap perkara menari, ia juga dalam rangka mewujudkan darmabhaktinya terhadap Dukuh Paruk, lantaran dulu orangtuanya telah melakukan kesalahan yang amat sulit diterima.

Kepelikan dan rasa cemas dari ibu kota yang tengah gonjang-ganjing terhadap isu tentang komunisme merembet dan ketakutan itu terkabul setelah beberapa oknum komunis berhasil menyeluduk ke Dukuh Paruk.

Ifa Isfansyah, menampilkan kisah cinta murni yang ngenas, muskil, dan penuh pengorbanan. Ia tidak menjejali dialog-dialog yang renyuh dan sendu, tetapi walau kisahnya remuk redam, romantismenya tetap amat terasakan. Tak melulu itu, di sini juga diceritakan tragedi kemanusiaan dan kritik sosial di era 60-an.  Dalam keterlibatannya dengan film-film sebelumnya seperti Garuda di Dadaku (2009) dan Rindu Purnama (2011), ia memang terlihat lebih suka membahasakan sebuah kehumanisasian dalam bentuk perjuangan.

Riset skenario Salman Aristo, Shanty Harmayn, dan Ifa Isfansyah sendiri pun, yang menciptakan ruang apresiasi baru, amat begitu brilian; tentu juga dengan tata produksinya yang hebat, dan departemen akting para pemainnya yang jauh dari cacat.

Sang Penari begitu baik, begitu mesti disaksikan. Dan mungkin bisa dikatakan, Sang Penari mencapai titik puncak keberhasilannya, setelah Ahmad Tohari sendiri beberapa waktu lalu menyaksikan film ini dan berkata, “Saya menangis. Saya datang sebagai penonton dan saya terhanyut.”








  
3,5/5

Kamis, 08 September 2011

Tendangan Dari Langit








Ia loncat menghindari sepasang kaki yang mengganggunya, goyang sedikit bola di tanah dengan gerakan kaki lincah yang memperdaya kawannya, dan.. GOL. Pakliknya manggut-manggut dari kejauhan.

Wahyu (Yosie Kristanto), seorang remaja yang tumbuh di Bromo ini, mempunyai kemampuan sepak bola tiada banding untuk remaja seusianya. Ia meluapkan segala kegembiraannya disetiap detik ia menggiring bola. Namun lupakan segala keceriaan terhadap perkara olahraga itu di rumah. Bila itu terjadi, Darto (Sujiwo Tedjo), ayahnya yang seorang penjaja minuman hangat keliling di Bromo, akan segera “membantainya”. Inilah kegetiran yang selalu menyergap hati dan pikiran Wahyu. Darto pun punya segudang alasan mengapa ia selalu mengucapkan “Bal-balan meneh??!” dengan biji mata yang hampir keluar, tiap mendapati anaknya pulang ke rumah sehabis main sepak bola.

Kecintaannya terhadap sepak bola tidak bisa ia tinggalkan begitu saja (ini juga malah demi ayahnya). Hasan (Agus Kuncoro) pakliknya, membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi Wahyu untuk tetap menyalurkan bakatnya tersebut dengan menjadikannya pemain cabutan ditiap pertandingan antar kampung dengan imbalan yang tidak sedikit.

Lain lagi di sekolah. Wahyu mendapat hiburan lain dengan adanya sosok—yang menurutnya luar biasa—Indah (Maudy Ayunda). Apalagi ia juga punya Mitra (Jordi Onsu), Purnomo (Joshua Suherman) dan Meli (Natasha Chairani), ketiga teman dekatnya yang gemblung.

Kisah romannya—dengan lika-liku ala remaja—bersama Indah, membuat pada suatu hari ia bisa bertemu dengan Timo (Timo Scheunemann), pelatih Persema Malang klub favoritnya; bahkan Irfan Bachdim yang ia puja-puja, juga Kim Kurniawan. Dalam keberuntungan yang lebih jauh lagi—lewat proses yang amat mengharukan bersama ayahnya—ia ditawari untuk tryout bersama Persema Malang. Tentu saja, lagi-lagi Wahyu dihadapkan pada terjangan-terjangan yang siap menjungkalkannya.

Tema yang diangkat Hanung Bramantyo ini dibuat dalam momen yang cukup tepat. Kita tentunya masih ingat betapa luar biasanya daya magnet dari piala AFF beberapa waktu lalu. Dan inilah yang coba dimanfaatkan oleh Hanung dan penulis naskah Fajar Nugros. Kali ini Zaskia Adya Mecca dipercaya untuk memilih pemain dan hasilnya, lebih dari dua jempol. Yosie Kristanto yang menjalankan debutnya, jauh dari kata canggung dan berhasil menampilkan akting alami yang luar biasa. Hal ini juga didukung karena ia punya partner maut bersama Sujiwo Tedjo yang berperan sebagai ayahnya. Untuk Sudjiwo Tedjo, tak banyak berkata-kata lagi, anda memang seorang seniman besar. Agus Kuncoro menurut saya juga masih dalam jajaran aktor Indonesia yang aktingnya kelas wahid. Pun harus saya akui, baru kali ini saya terkesan dengan akting dari Joshua Suherman. Kali ini ia berhasil lucu. Dan untuk Jordi Onsu, lebih baik anda terus menjaga (atau meningkatkan) kualitas akting seperti ini, karena anda berada di jalur yang cukup tepat.

Keindahan yang benar-benar luar biasa megah dari Bromo juga bisa dinikmati lewat Tendangan Dari Langit. Applause untuk Faozan Rizal yang sanggup mengeksplorasi ciptaan tuhan ini dengan begitu brilian. Oiya, tatanan musik dari Tya Subiakto hanya membuat film ini jadi lebih luar biasa (tapi saya cukup kaget juga di salah satu scene seperti mendengar Video Killed the Radio Star).

Pengalaman dan kemampuan mumpuni dari semua orang yang berpartisipasi dalam Tendangan Dari Langit membuat saya mengucap syukur, karena bertambah lagi koleksi film Indonesia yang amat mengagumkan.












4,5/5

Minggu, 31 Juli 2011

Going the Distance





Sepasang muda-mudi sedang merayakan hari ulang tahun si wanita di ruang tengah dengan saling berciuman. Beberapa menit kemudian, BLAM. Pintu rumah si pria dibanting, dan wanita berlalu membelah New York.


Adegan awal itu tampak akan menjuruskan film ini pada kedataran film romantic comedy kebanyakan—yang  tanpa istimewa dengan racikan utama tak beda jauh dengan pakem romcom lainnya—yang cukup banyak bertebaran di dunia hollywood. Dari judulnya saja orang pasti sudah menduga-duga, ini adalah cerita tentang dua orang penganut long distance relationship, yang selanjutnya terserah bagaimana sikap dan tindakan mereka menghadapi berondongan konflik yang akan datang. Plot yang mudah ditebak. Tapi tunggu dulu, tokoh utama yang memerankan film ini adalah Justin Long dan Drew Barrymore; dua orang yang memang sering putus nyambung di dunia nyata.

Kisah dimulai ketika Garrett (Justin Long) baru saja ditinggal kekasihnya. Seperti biasa, tiba-tiba ia dan dua sahabat dekatnya yaitu Dan (Charlie Day) dan Box (Jason Sudeikis)—tentu saja yang ditampilkan secara pandir untuk mengisi koridor komedinya—sudah berada di dalam bar yang cukup damai untuk menghibur Garrett. Di bar yang sama, hadir pula Erin (Drew Barrymore) yang juga sedang berusaha merontokkan pilunya, dengan bermain centipede yang terdapat di dalam bar. Di situlah pertemuan Garrett dan Erin bermula.

Singkat cerita, mereka akrab dan kemudian muncul masalah selanjutnya. Untuk memberi “pagar” agar hubungan mereka tak terlalu jauh, Erin menjabarkan bahwa keberadaannya di New York memang hanya sebatas sedang magang di surat kabar New York Sentinel, yang akan ia tempuh selama enam bulan. Setelah itu, ia harus kembali lagi ke San Francisco untuk melanjutkan sisa masa kuliahnya. Garrett pun juga tampak menyetujui ide “pagar” yang dicetuskan Erin tersebut. Tetapi yang terjadi selanjutnya adalah, enam bulan itu terlampau termanfaatkan dengan baik oleh mereka.

Nanette Burstein, sang sutradara yang banyak juga membuat film-film dokumenter seperti The Kid Stays in the Picture atau American Teen, sepertinya cukup lihai memanfaatkan hubungan Justin Long dan Drew Barrymore di kehidupan nyata—yang sudah pasti mempunyai chemistry tersendiri—sehingga ia tak usah terlalu repot mengarahkan; ditambah akting mereka yang juga lumayan. Ada beberapa scene yang dieksekusi dengan amat gemilang oleh mereka berdua. Charlie Day dan Jason Sudeikis pun berhasil membuat saya tidak risih. Filosofi hidup mereka yang unik kadang bisa diterima oleh siapa saja. Kehadiran band The Boxer Rebellion juga muncul menjadi penghias yang sepertinya tak keliru.

Going The Distance, boleh dibilang tak menawarkan sesuatu yang terlalu istimewa pada penontonnya. Tetapi walaupun plotnya sederhana, kealamian akting dari para pemainnya plus kesederhanaan jalan cerita dan jokes-jokes yang tak terlalu didramatisir malah membuat film ini jadi menyenangkan. Cukup mudah bersimpati untuk terus menyaksikan film ini dari menit ke menit. 

Walaupun tak terlalu berhamburan, beberapa cerdas-lucunya juga membuat kita tak ragu untuk menertawakannya. Kita juga tak diajak bersendu ria menikmati persoalan childish ala-ala remaja. Perkara yang disuguhkan dalam film ini cukup jelas: bagaimana mereka harus berdamai dengan jarak.











3,5/5

Minggu, 03 Juli 2011

Catatan Harian Si Boy





Disuatu malam, di sebuah kantor polisi yang sepi namun tampak begitu akrab dan erat, Satrio (Ario Bayu) mengurus segala tetek bengek akibat ulahnya ngebut di jalanan gara-gara mempunyai hobi balap liar. Disitulah ia bertemu dengan Natasha (Carissa Puteri)-seseorang yang baru pulang dari London-yang bersama pacarnya, Nico (Paul Foster), baru saja mendapatkan tindak kriminal. Lewat kerjasama yang apik dengan seorang polisi ketik, Satrio akhirnya sukses memboyong Natasha untuk mengantarkannya pulang, bersama teman-temannya, sementara Nico sibuk mengurus laporan.

Natasha pulang ke Indonesia bukan dalam misi liburan, melainkan untuk mengunjungi ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit, yang selalu menggenggam sebuah diary-dikala ketidaksadaran dirinya. Tentu saja Natasha sudah khatam dengan isi diary tersebut. Tetapi diary itu adalah milik Boy (Onky Alexander), seseorang yang-menurut penerawangan Natasha, tentu saja berdasarkan diary tersebut-dulu pernah memiliki hubungan khusus dengan ibunya. 

Lagi-lagi lewat kelihaian dan modusnya, Satrio menawarkan diri untuk membantu Natasha yang sedang kelimpungan mencari tahu dan menemukan Boy. Kedekatan Satrio dan Natahsa ini kurang disukai Nina (Poppy Sovia), pemilik bengkel tempat Satrio bekerja-lantaran menaruh hati pada Satrio. Begitupun dengan Nico. Makin jauh lagi, hal ini mengganggu stabilitas kehidupan bengkel Nina, yang didalamnya selain Satrio, terdapat Andi (Robertino Abimana) dan Herry (Albert Halim).

Putrama Tuta tampak ingin melenakan anak muda di zaman ini dengan Catatan Si Boy versinya sendiri. Priesnanda Dwisastria dan Anggy Ilya Sigma sang penulis, dengan cerdas mengolah sesuatu yang lama tapi baru dengan semangat masa kini, namun tidak serta-merta meninggalkan gaya konfensionalnya. Mereka juga tidak melakukan remake sebuah karya yang tersohor itu, melainkan melakukan regenerasi terhadap apa yang sudah dilakukan dengan gemilang oleh Nasri Cheppy. Penonton tetap bisa menemukan kehadiran Boy, Emon dan yang lainnya dengan umur yang tetap bertambah 24 tahun. Bahkan dengan pintar lagi, Putrama Tuta berhasil mengarahkan karakter-karakter pemain Catatan Harian Si Boy dengan sifat dan pembawaan yang hampir sama (atau bahkan melebihi) cemerlangnya dengan karakter pemain Catatan Si Boy.

Rentetan dialog yang kekinian dan cerdas, plus iramanya sok dan kocak, berhasil membuat Catatan Harian Si Boy menjadi tontonan yang begitu menyegarkan, begitu didambakan. Hal ini sama sekali tidak disia-siakan oleh Poppy Sovia-yang sejak kemunculannya dalam Mengejar Mas-mas terus terjaga kualitasnya. Begitu pula Robertino Abimana, yang tampak begitu masif dalam mempertontonkan kepandirannya. Celotehannya yang tak berguna, disuatu waktu kadang akan sangat dibutuhkan oleh siapapun. Tentu saja semua orang akan memberikan perhatian khusus kepada Albert Halim. Ia dipastikan akan mendapatkan ruang tersendiri di hati para penonton.

Film ini begitu mudah dicintai. Catatan Si Boy yang melegenda itu muncul dengan semangat dan gaya yang blak-blakkan, nyinyir, diolah kedalam porsi yang menyenangkan. Jangan lupakan penataan musiknya yang patut diacungi dua jempol berada dalam kendali Aghi Narottama. Semua taktik dan strategi di atas pada akhirnya mampu menjadikan Catatan Harian Si Boy terlihat gagah dan tangkas.
















4/5

Senin, 13 Juni 2011

The Devil Wears Prada






Drama komedi adalah salah satu genre film yang susah-susah gampang dibuatnya. Diangkat dari novel berjudul sama karangan Lauren Weisberger, The Devil Wears Prada, entah mengapa cukup tidak membuat saya tertawa, melainkan membuat saya sungguh amat sangat terkesan!

Andrea Sachs (Anne Hathaway) baru saja lulus dari salah satu perguruan tinggi di Amerika. Kesukaannya terhadap dunia jurnalistik membuat ia membayangkan bagaimana asyiknya bila ia diterima bekerja di New York Mirror atau majalah/surat kabar ternama lainnya. Tetapi, lewat proses yang cukup unik, ia malah diterima bekerja disalah satu majalah fashion terkemuka dunia bernama Runway, menjadi asisten kedua seorang bos besar yang perfeksionis, galak, dan sangat benci dengan kesalahan, tetapi tetap berwibawa, bernama Miranda Priestly (Meryl Streep). 

Masalah yang muncul pada awalnya adalah, Andrea termasuk orang yang tidak memedulikan fashion. Gaya berpakaian, contohnya, menjadi kepentingan nomor sekian untuk dirinya. Sementara di Runway, fashion adalah sebuah agama, sebuah mercusuar yang merupakan dasar dari segalanya. Dan banyak jutaan gadis yang rela mati demi mendapatkan posisi pekerjaan Andrea sekarang. 

Di masa ia menjalani pekerjaannya, tentu saja ia mengalami masa-masa lemah. Tekanan dari atasan yang sangat sewenang-wenang membuat titik jenuh dan stres Andrea sering berada pada puncaknya. Tetapi lewat ide yang cukup pintar dan asumsi bahwa Runway bisa menjadi pintu untuk pekerjaan yang ia idamkan kelak, ia sanggup bertahan dan malahan menggeser posisi asisten pertama yang selama ini ditempati oleh Emily (Emily Blunt). Andrea perlahan-lahan bersinar. Tetapi berbanding terbalik dengan kehidupan bersama kekasihnya, Nate (Adrian Grenier) dan temannya, Lily (Tracie Thomps). Mereka lebih suka dengan Andrea yang lama. Andrea yang apa adanya. Dan Andrea pun sesungguhnya juga sependapat dengan hal itu.

Saya sungguh terkesan dengan usaha David Frankel menerjemahkan film ini. Terlepas dari banyaknya yang menyebut film ini agak berbeda dengan novel aslinya (saya pun belum baca), David Frankel sanggup memberikan tontonan yang asyik, seru, dan inspiratif. Ditambah lagi, akting para pemainnya yang tampil hampir tanpa cacat ikut menjadikan film ini kian sempurna. Meryl Streep contohya; berkat penampilan gemilangnya di sini, ia diganjar sebagai peran wanita komedi terbaik di Golden Globe 2007 lalu. Filmnya sendiri pun ikut dinominasikan dalam kategori Best Motion Picture - Musical or Comedy.
Untuk Anne Hathaway, sepertinya sulit bagi saya untuk tidak jatuh hati padanya. Penampilannya di sini sangat menarik, sedikit berbeda dengan menariknya dia dari film-filmnya yang lain. Aktingnya terus saja cemerlang, dan mungkin akan terus menjadi figur favorit untuk saya. Emily Blunt juga tampil cukup mencuri perhatian.

Banyak hal yang bisa kita pelajari dari The Devil Wears Prada. Dibungkus dengan alur dan suguhan yang menarik serta jauh dari kata membosankan, David Frankel mencoba menjabarkan interelasi antara karier, harta, ego, keluarga, cinta, impian, dan idealisme. Dan lewat The Devil Wears Prada, ia menunjukan bahwa sesungguhnya pepatah yang mengatakan banyak jalan menuju roma itu sama sekali tidak salah.
















5/5

Rabu, 01 Juni 2011

Last Night





Kehidupan cinta yang diwarnai banyak pergolakan, ditampilkan oleh Massy Tadjedin dalam satu tema utama bernama kesetiaan. Ini adalah debut penyutradaraannya, yang bisa dibilang sangat memuaskan melalui tema sederhana yang acap kali ditawarkan dalam tema-tema film Hollywood. Bedanya, Last Night tampil lebih dewasa, matang, dan tidak cengeng.

Film ini bermula ketika Joanna (Keira Knightley) merasa, suaminya, Michael Reed (Sam Worthington), menyimpan sebuah perasaan khusus kepada rekan bisnis Michael bernama Laura (Eva Mendes). Hal ini ia tangkap saat ia dan Michael menghadiri sebuah pesta, dan melihat gelagat suaminya yang menunjukan sesuatu yang berbeda saat berada dekat Laura. Joanna yang merasa risih dengan hal ini, akhirnya terlibat cekcok kecil dengan Michael, apalagi mengetahui bahwa esok hari suaminya dan Laura akan bersama-sama pergi ke luar kota dalam rangka merampungkan agenda bisnis, walau pada akhirnya Joanna bisa menerima hal itu dengan lapang dada.

Saat Michael pergi ke luar kota, secara tak sengaja Joanna bertemu dengan Alex (Guillaume Canet), mantan kekasihnya dulu. Mereka berdua akhirnya melakukan pertemuan untuk sekadar berbincang-bincang, yang akhirnya menjadi pertemuan yang membuat keduanya nyaman. Pertemuan ini, setidaknya untuk sementara, berhasil mengusir stres yang kadang menyerang Joanna. Sebaliknya, Michael merasa kata-kata dan insting Joanna yang hampir semuanya benar, membuat ia tampak ingin lebih mencurahkan perhatian dan rasa sayangnya kepada istri yang dicintainya tersebut, bersamaan dengan Laura yang auranya terus mengganggunya. Disinilah mereka-mereka ini harus berusaha mengeluarkan kemampuan untuk menyusuri jalan yang curam dalam suatu hubungan.

Sosok Joanna yang ditampilkan cerdas dan menyenangkan, berhasil diperankan Knightley dengan sangat baik. Aktingnya yang tak berlebihan membuat penonton ingin terus menyaksikan upaya pengendalian dirinya. Begitu juga dengan Sam, yang berperan sebagai sosok yang tak banyak bicara. Mereka membuat penonton tahu, bahwa ketika mereka mempunyai kesempatan untuk selingkuh, sebenarnya mereka sangat mencintai satu sama lain.

Juga dengan Mendes dan Canet, yang sangat apik membawakan perannya masing-masing. Alex yang supel dan mempunyai daya tarik yang banyak, walaupun tidak ditampilkan secara gamblang, tetapi berhasil menegaskan pada penonton bahwa dulu ia pernah punya kenangan yang indah bersama Joanna. Mendes juga sangat sukses memerankan sosok yang 'to the point', sosok yang kurang beruntung karena merasa bertemu dengan seseorang yang istimewa, namun sudah memiliki pasangan. 

Sambutan penonton setelah menyaksikan film ini mungkin bisa bermacam-macam. Massy Tadjedin memang istimewa menggarap naskah dan mengolah Last Night secara keseluruhan.  Kisahnya mungkin cukup lazim mendera para penontonnya sendiri, dan hal inilah yang membuat film ini terasa begitu dekat, begitu mudah dicintai, dan akhirnya membuat kita mengukur-ukur seberapa tinggikah tingkat kesetiaan kita terhadap pasangan kita.








9,3/10









Sabtu, 21 Mei 2011

Jamila dan Sang Presiden





Jamila (Atiqah Hasiholan), adalah seorang pelacur yang menyerahkan diri pada pihak berwajib, lantaran ia baru saja membunuh seorang menteri bernama Nurdin (Adjie Pangestu). Ia kemudian dijebloskan ke Lembaga Permasyarakatan di luar kota atas perintah langsung dari presiden. Di sana, Jamila mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan dari seorang kepala sipir perempuan bernama Bu Ria (Christine Hakim). Berbeda halnya dengan Surya (Surya Saputra)-bawahan ria, yang sangat simpati dengan Jamila. 

Jamila mempunyai masa lalu yang sungguh kelam. Ia dijual oleh ayahnya sendiri kepada mucikari, namun kemudian berhasil meloloskan diri. Tak lama, ibunya langsung menitipkan Jamila pada sebuah keluarga di kota, agar ia bisa mendapatkan hidup yang lebih baik di kemudian hari. Tetapi di keluarga itu, terdapat seorang ayah dan anak laki-laki yang kerap kali malah menjadikan Jamila sebagai hasrat pemuas seksualnya. Dan lagi-lagi ia melarikan diri. Ia kemudian bertemu dengan Susi (Ria Irawan), seorang pelacur yang pada awalnya mengayomi Jamila dan akhirnya menganggapnya seperti saudara.

Ibrahim (Dwi Sasono), seseorang yang amat mencintai Jamila, bersama dengan Malik (Marcelino Lefradnt)-seorang pengacara, yang dulu pernah bekerjasama dengan Jamila, berusaha menolong Jamila agar ia terbebas dari hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan. Pertolongan mereka untuk memintakan grasi pada presiden selalu ditampik Jamila. Ia merasa, dengan cara seperti inilah, ia bisa 'resmi' mati. Apalagi ia merasa gagal untuk menjaga adik perempuannya.
Suasana tambah keruh saat pimpinan massa bayaran yang mengatasnamakan ormas Islam (Fauzi Baadila), terus berkoar-koar di sana sini.







Ratna Sarumpet yang aktif bergelut di dunia panggung teater dan menjadi aktivis organisasi sosial ini, berusaha mengadaptasikan naskah teater berjudul Pelacur dan Sang Presiden, ke dalam medium layar lebar berjudul Jamila dan Sang Presiden. Dua medium itu sangatlah berbeda dan untuk mengadaptasikannya membutuhkan usaha yang tidak ringan. Banyak kejanggalan-kejanggalan yang tak bisa diselesaikan dengan baik oleh Ratna.

Yang paling menonjol mungkin adalah bahasa dialog yang terasa sangat baku. Saya tak tahu apakah itu murni usaha dari Ratna untuk tidak meninggalkan ciri khas teaternya, tetapi hal itu membuat saya tidak nyaman. Kemampuan akting dari Christine Hakim dan Surya Saputra yang sudah teruji pun sepertinya tidak  cukup berkembang karena skenario yang kurang baik. Di film ini, debat-debat antara Surya (Surya Saputra) yang sipir muda, dengan Bu Ria (Christine Hakim)-yang notabene lebih tua, sering menggunakan kata sapaan yang berbeda-beda. (Kadang kamu, anda, atau bahkan Ria). Rangkaian demonstrasi yang dilakukan Fauzi Baadila dalam film ini pun malah seperti propaganda tersendiri. Akting pembantu rumah tangga dan pak haji yang niatnya serius pun malah membuat saya terbahak-bahak. Berkat cukup banyaknya kejanggalan yang saya rasakan, penyampaian pesan untuk mencegah pelacuran anak kecil dan perdagangan wanita malah lebih banyak memunculkan pertanyaan. Satu hal, akting Jajang C. Noer disini, walaupun mendapatkan porsi yang sangat sedikit, membuat saya cukup terpukau.

Saya yakin seyakin-yakinnya, bila naskah film ini ditelaah, dikaji, dan diperiksa lebih dalam lagi, akan menghasilkan karya yang sudah cukup bagus ini menjadi sempurna.



8,2/10