Minggu, 31 Juli 2011

Going the Distance





Sepasang muda-mudi sedang merayakan hari ulang tahun si wanita di ruang tengah dengan saling berciuman. Beberapa menit kemudian, BLAM. Pintu rumah si pria dibanting, dan wanita berlalu membelah New York.


Adegan awal itu tampak akan menjuruskan film ini pada kedataran film romantic comedy kebanyakan—yang  tanpa istimewa dengan racikan utama tak beda jauh dengan pakem romcom lainnya—yang cukup banyak bertebaran di dunia hollywood. Dari judulnya saja orang pasti sudah menduga-duga, ini adalah cerita tentang dua orang penganut long distance relationship, yang selanjutnya terserah bagaimana sikap dan tindakan mereka menghadapi berondongan konflik yang akan datang. Plot yang mudah ditebak. Tapi tunggu dulu, tokoh utama yang memerankan film ini adalah Justin Long dan Drew Barrymore; dua orang yang memang sering putus nyambung di dunia nyata.

Kisah dimulai ketika Garrett (Justin Long) baru saja ditinggal kekasihnya. Seperti biasa, tiba-tiba ia dan dua sahabat dekatnya yaitu Dan (Charlie Day) dan Box (Jason Sudeikis)—tentu saja yang ditampilkan secara pandir untuk mengisi koridor komedinya—sudah berada di dalam bar yang cukup damai untuk menghibur Garrett. Di bar yang sama, hadir pula Erin (Drew Barrymore) yang juga sedang berusaha merontokkan pilunya, dengan bermain centipede yang terdapat di dalam bar. Di situlah pertemuan Garrett dan Erin bermula.

Singkat cerita, mereka akrab dan kemudian muncul masalah selanjutnya. Untuk memberi “pagar” agar hubungan mereka tak terlalu jauh, Erin menjabarkan bahwa keberadaannya di New York memang hanya sebatas sedang magang di surat kabar New York Sentinel, yang akan ia tempuh selama enam bulan. Setelah itu, ia harus kembali lagi ke San Francisco untuk melanjutkan sisa masa kuliahnya. Garrett pun juga tampak menyetujui ide “pagar” yang dicetuskan Erin tersebut. Tetapi yang terjadi selanjutnya adalah, enam bulan itu terlampau termanfaatkan dengan baik oleh mereka.

Nanette Burstein, sang sutradara yang banyak juga membuat film-film dokumenter seperti The Kid Stays in the Picture atau American Teen, sepertinya cukup lihai memanfaatkan hubungan Justin Long dan Drew Barrymore di kehidupan nyata—yang sudah pasti mempunyai chemistry tersendiri—sehingga ia tak usah terlalu repot mengarahkan; ditambah akting mereka yang juga lumayan. Ada beberapa scene yang dieksekusi dengan amat gemilang oleh mereka berdua. Charlie Day dan Jason Sudeikis pun berhasil membuat saya tidak risih. Filosofi hidup mereka yang unik kadang bisa diterima oleh siapa saja. Kehadiran band The Boxer Rebellion juga muncul menjadi penghias yang sepertinya tak keliru.

Going The Distance, boleh dibilang tak menawarkan sesuatu yang terlalu istimewa pada penontonnya. Tetapi walaupun plotnya sederhana, kealamian akting dari para pemainnya plus kesederhanaan jalan cerita dan jokes-jokes yang tak terlalu didramatisir malah membuat film ini jadi menyenangkan. Cukup mudah bersimpati untuk terus menyaksikan film ini dari menit ke menit. 

Walaupun tak terlalu berhamburan, beberapa cerdas-lucunya juga membuat kita tak ragu untuk menertawakannya. Kita juga tak diajak bersendu ria menikmati persoalan childish ala-ala remaja. Perkara yang disuguhkan dalam film ini cukup jelas: bagaimana mereka harus berdamai dengan jarak.











3,5/5

Minggu, 03 Juli 2011

Catatan Harian Si Boy





Disuatu malam, di sebuah kantor polisi yang sepi namun tampak begitu akrab dan erat, Satrio (Ario Bayu) mengurus segala tetek bengek akibat ulahnya ngebut di jalanan gara-gara mempunyai hobi balap liar. Disitulah ia bertemu dengan Natasha (Carissa Puteri)-seseorang yang baru pulang dari London-yang bersama pacarnya, Nico (Paul Foster), baru saja mendapatkan tindak kriminal. Lewat kerjasama yang apik dengan seorang polisi ketik, Satrio akhirnya sukses memboyong Natasha untuk mengantarkannya pulang, bersama teman-temannya, sementara Nico sibuk mengurus laporan.

Natasha pulang ke Indonesia bukan dalam misi liburan, melainkan untuk mengunjungi ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit, yang selalu menggenggam sebuah diary-dikala ketidaksadaran dirinya. Tentu saja Natasha sudah khatam dengan isi diary tersebut. Tetapi diary itu adalah milik Boy (Onky Alexander), seseorang yang-menurut penerawangan Natasha, tentu saja berdasarkan diary tersebut-dulu pernah memiliki hubungan khusus dengan ibunya. 

Lagi-lagi lewat kelihaian dan modusnya, Satrio menawarkan diri untuk membantu Natasha yang sedang kelimpungan mencari tahu dan menemukan Boy. Kedekatan Satrio dan Natahsa ini kurang disukai Nina (Poppy Sovia), pemilik bengkel tempat Satrio bekerja-lantaran menaruh hati pada Satrio. Begitupun dengan Nico. Makin jauh lagi, hal ini mengganggu stabilitas kehidupan bengkel Nina, yang didalamnya selain Satrio, terdapat Andi (Robertino Abimana) dan Herry (Albert Halim).

Putrama Tuta tampak ingin melenakan anak muda di zaman ini dengan Catatan Si Boy versinya sendiri. Priesnanda Dwisastria dan Anggy Ilya Sigma sang penulis, dengan cerdas mengolah sesuatu yang lama tapi baru dengan semangat masa kini, namun tidak serta-merta meninggalkan gaya konfensionalnya. Mereka juga tidak melakukan remake sebuah karya yang tersohor itu, melainkan melakukan regenerasi terhadap apa yang sudah dilakukan dengan gemilang oleh Nasri Cheppy. Penonton tetap bisa menemukan kehadiran Boy, Emon dan yang lainnya dengan umur yang tetap bertambah 24 tahun. Bahkan dengan pintar lagi, Putrama Tuta berhasil mengarahkan karakter-karakter pemain Catatan Harian Si Boy dengan sifat dan pembawaan yang hampir sama (atau bahkan melebihi) cemerlangnya dengan karakter pemain Catatan Si Boy.

Rentetan dialog yang kekinian dan cerdas, plus iramanya sok dan kocak, berhasil membuat Catatan Harian Si Boy menjadi tontonan yang begitu menyegarkan, begitu didambakan. Hal ini sama sekali tidak disia-siakan oleh Poppy Sovia-yang sejak kemunculannya dalam Mengejar Mas-mas terus terjaga kualitasnya. Begitu pula Robertino Abimana, yang tampak begitu masif dalam mempertontonkan kepandirannya. Celotehannya yang tak berguna, disuatu waktu kadang akan sangat dibutuhkan oleh siapapun. Tentu saja semua orang akan memberikan perhatian khusus kepada Albert Halim. Ia dipastikan akan mendapatkan ruang tersendiri di hati para penonton.

Film ini begitu mudah dicintai. Catatan Si Boy yang melegenda itu muncul dengan semangat dan gaya yang blak-blakkan, nyinyir, diolah kedalam porsi yang menyenangkan. Jangan lupakan penataan musiknya yang patut diacungi dua jempol berada dalam kendali Aghi Narottama. Semua taktik dan strategi di atas pada akhirnya mampu menjadikan Catatan Harian Si Boy terlihat gagah dan tangkas.
















4/5