Minggu, 30 Oktober 2011

Johnny English Reborn





Di sebuah kuil, di Tibet, adalah tempat di mana Johnny English (Rowan Atkinson) menduga-duga, seberapa luas hamparan sebuah kapasitas hati yang dimilikinya, untuk memaafkan dirinya sendiri akibat suatu kesalahan. Ia berada di sana dalam rangka mengasah keterampilan bela dirinya, dan—ini yang paling penting—membuang jauh sebongkah masa lalu yang memilukan. Dan setelah bertahun-tahun mengasingkan diri di tempat itu, lewat sebuah kabar mengejutkan dan satu anggukan kepala dari guru spiritualnya, ia tiba-tiba sudah berada di Inggris; untuk sebuah penebusan, untuk menyelesaikan sebuah kepercayaan negara, dalam Johnny yang baru.

Seperti film pendahulunya, dengan formula khas film James Bond kebanyakan, Johnny English tersaji dengan corak yang super konyol. Tak ada yang terlalu serius untuk disaksikan—kecuali raut wajah Johnny yang acap kali sok paham dan serius. 

Menurut informasi yang didapatkan dari intelijen, ada usaha pembunuhan yang ditujukan pada Perdana Menteri China. Akan sangat mengerikan, karena bila hal itu terjadi,  ditengarai dunia bakal kacau balau dan perang dunia tak akan sanggup lagi terelakkan. Tugas Johnny adalah mencari siapa dalang dan menggagalkan rencana pembunuhan tersebut.

Kerumitan semakin kompleks, ketika upaya jahat ini ternyata selain melibatkan agen rahasia dari CIA dan KGB, juga melibatkan MI7!

Tawa—bagi sebagian—penonton mungkin akan langsung meledak bahkan dari awal film ini baru bergulir. Dalam serial komedi fenomenal Mr. Bean, sosok Rowan Atkinson yang ditampilkan lucu, egois, banyak akal, dan sering menghadapi situasi konyol karena ulah dan perbuatannya, secara gamblang ditampilkan juga di Johnny English. Oliver Parker sang sutradara, paham betul bagaimana cara mengeksploitasi seorang Rowan Atkinson yang begitu khas dan berkarakter.

Kali ini, Johnny mempunyai partner muda nan ulet bernama Tucker (Daniel Kaluuya), yang lagi-lagi bisa dibilang lebih cermat darinya, namun masih kurang jam terbang. Tetapi walaupun seringkali sial dan berkelakuan tak wajar, seorang behavioural psychologist cantik MI7, Kate Summer (Rosamund Pike), malah kepincut pada Johnny, karena kejujuran dan aura Johnny yang tak biasa, yang seringkali dipandang aneh oleh anggota MI7 lainnya.

Masalah semakin pelik, ketika konflik tak berkesudahannya dengan seorang nenek pembersih debu yang juga pembunuh bayaran (Pik-Sen Lim), membuat hari-hari Johnny dilanda kesiagaan.

Bisa dikatakan, Johnny English adalah tontonan yang wajib disaksikan oleh para penggemar Rowan Atkinson dan film-film bergenre sejenis. Dalam keseharian kita yang mungkin seringkali berada pada titik jenuh, film ini—setidaknya bagi saya—cukup ampuh untuk melelehkan perasaan lelah, perasaan jemu yang menggumpal, perasaan yang butuh pelonggaran, sebelum kenyataan akan memeluk kita lagi.  Bravo English!











4/5

Selasa, 25 Oktober 2011

Sang Penari






Seorang pemuda berjalan dengan tenang—lain dengan suasana hatinya—menyusuri desa yang gersang dan senyap sambil terus menjaga ekor matanya. Bahkan ia sendiri pun tahu, kedatangannya di desa itu tak akan membuat ia bisa menemukan dan memboyong kekasihnya, Srintil (Prisia Nasution). Sementara kang Sakum (Hendro Djarot), penabuh kendang uzur yang—beruntung—tak diangkut tentara itu, tak bisa memberikan informasi apa-apa.

Ifa Isfansyah, sang sutradara, membuat proyek visualisasi elektronik ini dari cerita fenomenal berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (1981) karya Ahmad Tohari. Munculah sekelumit ketakutan dan rasa kekurangtebalan harapan, ketika sebuah pengadaptasian novel—yang notabene legendaris—dituangkan ke dalam sebuah media visual. Penerjemahan seperti itu butuh upaya yang tidak mudah dan riskan bias terhadap karya aslinya; bukan karena apa-apa, dahulu Ronggeng Dukuh Paruk juga sudah divisualisasikan dalam film berjudul Darah dan Mahkota Rongeng (1983) dan banyak yang menyayangkan karena pesan yang disampaikan jauh melenceng dari apa yang ada dalam novel (walaupun banyak juga karya penerjemahan yang sanggup membuat penikmat novel dan film sekaligus berada dalam klimaks kepuasan yang hebat). 

Rasus (Nyoman Oka Antara), tentara yang kini telah gagah itu, hanya ingin bertemu tambatan hatinya—yang juga merupakan sahabat dari kecilnya—Srintil. Ia juga dengan sekuat tenaga mendesak rasa sakit hatinya untuk tetap kalem dan rela diinjak-injak oleh atasannya, yang akhirnya mematahkan kalimat janjinya: “Sak malem itu kamu dadi ronggeng, aku nggak pernah mau balik kesini..,” karena benci Srintil menjadi “milik bersama”.

Tetapi Srintil punya alasan yang tak pernah bisa Rasus lawan—dan Rasus tahu itu. Selain besarnya kecintaan Srintil terhadap perkara menari, ia juga dalam rangka mewujudkan darmabhaktinya terhadap Dukuh Paruk, lantaran dulu orangtuanya telah melakukan kesalahan yang amat sulit diterima.

Kepelikan dan rasa cemas dari ibu kota yang tengah gonjang-ganjing terhadap isu tentang komunisme merembet dan ketakutan itu terkabul setelah beberapa oknum komunis berhasil menyeluduk ke Dukuh Paruk.

Ifa Isfansyah, menampilkan kisah cinta murni yang ngenas, muskil, dan penuh pengorbanan. Ia tidak menjejali dialog-dialog yang renyuh dan sendu, tetapi walau kisahnya remuk redam, romantismenya tetap amat terasakan. Tak melulu itu, di sini juga diceritakan tragedi kemanusiaan dan kritik sosial di era 60-an.  Dalam keterlibatannya dengan film-film sebelumnya seperti Garuda di Dadaku (2009) dan Rindu Purnama (2011), ia memang terlihat lebih suka membahasakan sebuah kehumanisasian dalam bentuk perjuangan.

Riset skenario Salman Aristo, Shanty Harmayn, dan Ifa Isfansyah sendiri pun, yang menciptakan ruang apresiasi baru, amat begitu brilian; tentu juga dengan tata produksinya yang hebat, dan departemen akting para pemainnya yang jauh dari cacat.

Sang Penari begitu baik, begitu mesti disaksikan. Dan mungkin bisa dikatakan, Sang Penari mencapai titik puncak keberhasilannya, setelah Ahmad Tohari sendiri beberapa waktu lalu menyaksikan film ini dan berkata, “Saya menangis. Saya datang sebagai penonton dan saya terhanyut.”








  
3,5/5