Kamis, 31 Oktober 2013

The Way, Way Back (2013)





Ketika ibu dan calon kakak perempuannya tengah lelap, Duncan mendengar sebuah pertanyaan mengusik dengan nada yang tak nyaman, “On a scale one to ten, what do you think you are?” Tentu saja remaja berusia empat belas tahun tersebut semakin kecut wajahnya. Lagipula ia memang tak menyukai calon ayahnya yang kerap meremehkannya itu. “A six.” “I think you’re a three.” Perjalanan menuju Cape Cod dalam rangka pelesir musim panas semakin dan semakin berat.

Duncan (Liam James), remaja introvert yang lebih nyaman menyendiri dan sulit bergaul dengan orang itu, seperti melihat hari-hari ke depan bagai rangkaian kesuraman. Ia kerap membayangkan liburan musim panas kali ini dapat mengunjungi ayahnya di California. Sayang, ia kini bersama Pam (Toni Collette), ibunya, yang kadang juga tak membantu keadannya dan kerap manut dengan pacarnya, walau ia pun sebetulnya peduli dengan Duncan. Sedangkan calon ayahnya, Trent (Steve Carell), membawa anak perempuannya—yang juga kecut rautnya—Steph (Zoe Levin). “He wants us to be a family." "That's what he says, but it not what he does.”

Pantai sama sekali tidak menarik perhatian Duncan—kecuali saat mengurai sepi. Begitu pula suasana di dalam beach house. Sampai suatu ketika ia bertemu Owen (Sam Rockwell), petugas Water Park di Cape Cod yang pembawaannya menyenangkan, yang membuat Duncan akhirnya bersosialisasi di Water Park tempat Owen bekerja. Tak membutuhkan waktu lama bagi Duncan untuk menemukan arti keluarga di sana—dengan suasana yang fun dan pegawai-pegawai yang eksentrik. Di sebelah beach house-nya yang muram, Duncan juga bertemu dengan Susanna (AnnaSophia Robb), perempuan yang mencuri perhatiannya.

The Way, Way Back adalah debut penyutradaraan Nat Faxon dan Jim Rash, dua orang pemenang Oscar sebagai co-writers dalam The Descendants. Kedua film ini memang mempunyai persamaan: sebuah keluarga dan sebuah kepiluan yang dikemas dengan tenang. Hingga bagaimana mereka akhirnya menghadapi kepiluan-kepiluan tersebut. Jika The Descendants memiliki Geoge Clooney dan Shailene Woodley sebagai sosok ayah dan anak yang kerap tak satu jalan, di sini ada Liam James dan Toni Collette. Collete pun kembali dipertemukan dengan Steve Carell setelah kerja sama mereka dalam Little Miss Sunshine. Akting keduanya brilian, terutama Collette. Single mother limbung, traumatik, sikapnya yang peduli namun menghukum membuat kita tak tahu harus berpihak. Carell pun tampak masuk akal. Tidak meledak-ledak, tetapi punya pesona bullying dalam ketenangannya.

Tetapi hubungan Duncan dan Owenlah yang lebih bersinar ketimbang hubungan Duncan dengan Susanna. Hubungan Duncan dengan Owen adalah hubungannya dengan Water Wizz, gelanggang renang tempat ia bermain dan mengusir sepi dengan segala keriaannya. Sedangkan hubungan Duncan dengan Susanna adalah hubungannya dengan orang yang kurang lebih sama seperti dirinya: tak ingin ada di tempatnya sekarang. Karakter Sam Rockwell mirip dengan karakternya pada Seven Psychopaths yang easy going, santai, slengean, serta menjunjung tinggi perkawanan. Bedanya kali ini ia tidak membunuh. Chemistry-nya bersama—dan tentu saja ini membantu—Liam James begitu hidup dan meraih simpati penonton. Liam James sendiri tampil oke dan begitu pas sebagai sosok seorang introvert seperti yang kita bayangkan.

Cukup mudah untuk menyukai debut penyutradaraan Nat Faxon dan Jim Rash dalam The Way, Way Back. Walaupun terlihat sebagai pembelaan mereka terhadap penderitaan remaja dalam sosok Duncan, sebetulnya kisah Pam lebih pilu: seorang ibu yang terus berusaha menyatukan dan membersamakan, dan harus terus-menerus menjaga perasaan/pergolakan batinnya ke tempat menyakitkan yang ada di hatinya. Tetapi dari keduanya kita diajak untuk menendang gangguan hidup dan berdiri sedikit lebih tegak.









 






3,5/5

Minggu, 08 September 2013

Kick-Ass 2 (2013)






“Hey, whoa. Absolutely not.”
“Fine.”

Tiba-tiba suara letusan pistol terdengar, ditembakkan oleh seorang gadis ABG yang cengar-cengir. Di hadapannya, seorang lelaki muda terjengkang setelah dadanya menerima sebutir peluru tadi.

Gadis tersebut adalah Mindy Macready alias Hit-Girl (Chloë Grace Moretz), si ahli tarung yang baru berusia lima belas tahun tetapi sanggup membunuh siapapun hanya dengan jari yang dibunuhnya. Sementara si pemuda terjengkang—yang untungnya memakai rompi anti peluru itu—adalah Dave Lizewski alias Kick-Ass (Aaron Taylor-Johnson), superhero bodong yang namanya mencuat karena tindakannya yang terobsesi sebagai pelindung kaum lemah. Pada adegan penembakan tersebut—dulu adegan ini dilakukan oleh Mindy dan ayahnya—Dave tengah menimba ilmu pada Mindy.

Sayang, kegiatan mereka belakangan diketahui Marcus (Morris Chestnut), wali yang kini mengasuh Mindy, yang tak henti-hentinya berupaya agar Mindy tumbuh seperti sebetul-betulnya gadis berusia lima belas tahun. Mindy pun akhirnya disibukkan dengan tetek bengek persekolahan yang menurutnya nonsens: klub dance, rencana party, kencan, dan tentunya pengkhianatan. Sementara kegiatan menimba ilmu tadi mandek, dalam kekosongannya Dave pun mencari dan akhirnya menemukan kumpulan orang-orang yang juga kerap menggunakan jubah dan topeng ke manapun mereka pergi—mereka sendiri terinspirasi oleh Kick-Ass. Jadi kini ia bergabung bersama Night Bitch (Lindy Booth), Dr. Gravity (Donald Faison), Battle Guy alias Marty yang karibnya sendiri (Clark Duke) dan Colonel Stars and Stripes (Jim Carrey) sebagai fasilitator dan pembina. Tentu saja mereka semua tidak bisa berkelahi, kecuali Sang Kolonel yang mantan mafia dan telah taubat itu. Kelompok ini bernama Justice Forever.

Sementara di belahan lain, Chris D’Amico alias The Motherfucker (Christopher Mintz-Plasse)—telah berganti dari Red Mist—berniat membalas Kick-Ass karena dulu ayahnya dilenyapkan dengan bazooka. Niat Chris tak main-main, ia mengumpulkan psikopat terlatih dan membentuk kelompok penjahat super. Motherfucker yang pandir tapi tajir itu merekrut The Tumor, Gengis Carnage, dan perempuan bertubuh tinggi besar yang pernah memakan teman satu selnya, Mother Russia. “We are The Toxic Mega-Cunts!”

Telinga Motherfucker semakin panas karena Justice Forever yang mempunyai Kick Ass, berhasil memberangus mafia perdagangan wanita—berkat kehebatan Sang Kolonel. Motherfucker dan staff pun merusuh dan merusuh, sembari terus mencari keberadaan Kick-Ass. Sementara Mindy yang terus merasa hal-hal keremajaan adalah omong kosong, dengan berat hati mengikuti permainan teman-temannya—termasuk memberikan mereka pelajaran—walaupun yang ada di pikirannya cuma satu: menggasak penjahat.

Pada tahun 2010, Kick-Ass lewat Matthew Vaughn dan Jane Goldman—dari  komik karya Mark Millar dan John Romita Jr.—memiliki ide cerdas meruntuhkan jarak antara fantasi dan kenyataan. Bagaimana jika superhero bertopeng yang tanpa skill itu tanpa rasa takut turun ke jalan? Mengenakan kostum dan mengumumkan dirinya kepada dunia sebagai "Kick-Ass", yang memiliki semangat kepahlawanan untuk membersihkan kota. Tentu saja kita semua tahu, ia akhirnya benar-benar remuk dihajar preman. Pencerah film itu kemudian adalah Hit-Girl, bocah perempuan kecil yang betul-betul memiliki kemampuan untuk menghajar siapapun.

Tiga tahun kemudian, Jeff Wadlow yang menulis dan mengarahkan sekuel ini, terkesan manut menyusuri trek tanpa pernah memberikan kejutan-kejutan tak terduga untuk keluar dari bayang-bayang film pertama. Ia lebih memilih untuk tidak berkonsentrasi pada karakter utamanya dan lebih memuat cerita baru. Lebih pada volumenya, bukan kedalamannya. Kemunculan tokoh Colonel Stars and Stripes yang diperankan oleh Jim Carrey sebetulnya menarik—itu pun sedikit—tetapi kita akan jauh lebih peduli pada bagaimana kemudian Mindy menghadapi dunianya yang baru, yang sayangnya hanya diceritakan ala kadarnya. Sementara Dave masih dalam substansi yang sama.

Walaupun urusan skenario sebetulnya tak terlalu mulus, tetapi penggemar Kick-Ass akan tetap merasakan asyiknya film ini. Tentu saja Chloë Grace Moretz yang menjadi bintang di sini. Karakternya yang dinamis, rentan, dan dipaksa sibuk mengurusi keusiannya. Ia tak memerlukan banyak usaha untuk menyita perhatian. Yang menghambatnya hanyalah penceritaan karakternya yang kurang dalam. Christopher Mintz-Plasse juga baik memainkan peran. Tingkahnya yang pandir, rasis, bossy, tetapi insecure karena baru saja kehilangan sosok-sosok yang dicintainya, membuat kita gemas sekaligus bersimpati dengannya. Perhatian juga mengarah pada Olga Kurkulina yang menjadi Mother Russia. Mantan binaragawan yang memerankan karakter bengis dan tanpa ampun, dan berpartisipasi dalam adegan perkelahian sengit satu lawan satu melawan Hit-Girl.

Bagi orang-orang yang sengaja menonton film ini hanya karena ingin menyaksikan Jim Carrey, jelas akan kecewa karena sedikitnya porsi tampil dirinya. Sebetulnya kemunculan Carrey sendiri di film ini juga banyak diperhatikan. Pada bulan Juni, Carrey berkicau di akun Twitter-nya, "I did Kickass a month b4 Sandy Hook and now in all good conscience I cannot support that level of violence ... my apologies to others involve [sic] with the film. I am not ashamed of it but recent events have caused a change in my heart." Kasus penembakan di Sekolah Dasar Sandy Hook yang menewaskan 28 orang di Newtown, Connecticut, Amerika Serikat, memang membuat Carrey sangat vokal pada masalah kontrol senjata dan kekerasan.

Kick Ass 2 juga akan membelah penonton: yang menyukainya dan yang membencinya—karena beberapa isu seperti kekerasan yang berlebihan/masalah moral. Tetapi selama kita betul-betul hanya mencari senang, kita akan bisa menikmati film ini dengan santai. Film ini tetap hiburan yang asyik daripada kebanyakan film-film superhero lainnya.








3,5/5

Sabtu, 30 Maret 2013

Tampan Tailor (2013)





Topan seperti melihat hari-hari ke depan bagai rangkaian keganasan.

Barangkali itulah yang ada dibenak Topan ketika sang istri harus diambil tuhan lantaran kanker. Kian pelik karena Tampan Tailor, usaha jahit kebanggaannya yang juga usaha satu-satunya itu, harus gulung tikar. Untungnya Topan (Vino G. Bastian) masih punya Bintang (Jefan Nathanio), anak semata-wayangnya yang baru berusia enam tahun, matahari yang terus memacu semangatnya. “Janjiku pada Tami cuma satu: masa depan Bintang tidak akan pernah hilang.”

Tak membutuhkan waktu lama bagi Topan untuk bertemu Darman (Ringgo Agus Rahman), sepupunya yang juga hidup blangsak dengan istri sarkastis dan anak yang berjibun. Topan numpang di rumah Darman dan sementara ikut gawe jadi calo kereta. Keseharian bersama sepupunya tersebut membuat Topan kerap bertemu dengan Prita (Marsha Timothy), seorang pemilik kios merangkap tempat penitipan anak dekat stasiun. Hal itu juga didukung sebuah kejadian ngawur dan seringnya Bintang melihat ikan di kios Prita. Mengetahui Topan memiliki keahlian menjahit, Prita merekomendasikan tempat kerja yang sesuai dengan kemampuannya. Seperti voorijder membelah jalan tol, dengan cepat dan tanpa hambatan Topan langsung diterima di tempat kerja barunya tersebut. Lalu kita melihat jalan terang: Topan tak lagi numpang dan sudah berani ngajak Prita makan.

Tentu saja tak hanya selesai di situ, karena kemudian mandor ngaco (Epy Kusnandar) di tempat kerjanya tiba-tiba mengucapkan, “Nanti siang lo nggak usah masuk lagi, Pan. Pak manajer nggak puas sama hasil jahitan lo.” Sementara perihal pembayaran sekolah Bintang juga tak menemukan titik cerah. Kembali terbayang jalanan Jakarta yang pengap dan kusut. “Setiap hari bagiku selalu sama. Tanpa kejutan.”

Kita mungkin akan langsung teringat pada Pursuit of Happynes (2006) yang diperankan Will Smith dan anak kandungnya itu. Plot tentang perjuangan ayah dan anak yang juga terus berjuang melewati jalan terjal dalam hidup. Diakui pula oleh sang eksekutif produser bahwa film tersebut menjadi sumber inspirasi lahirnya Tampan Tailor. Tetapi walaupun terkesan dengan formulaik serupa, sesungguhnya isi dari Tampan Tailor begitu berbeda.

Cerita perjuangan dan kegetiran orangtua-anak semacam ini akan sempurna dengan skenario yang rapi dengan dialog yang jujur dan chemistry antar setiap pemain. Vino dan Jefan mungkin sedikit mengalami kesulitan perihal chemisty tersebut dan hal itu wajar mengingat Jefan adalah pendatang baru sedangkan Vino memang belum pernah merasakan punya anak. Justru hubungan Topan dengan Darman dan Pritalah yang terlihat lebih cerah di film ini.

Bagaimana Vino tampil apik memerankan seseorang dengan aksen Jawa Tengah yang tahu diri, juga Ringgo dengan logat betawinya yang tahu dan peka terhadap atmosfer hidup Topan yang tengah anyir, membuat hubungan keduanya terasa begitu solid. Simpel saja karena mereka berhasil meyakinkan kita dengan dialog yang jujur dan pas, lagi kocak. Diperkuat pula dengan penampilan Lisye Herliman sebagai istri Darman yang tukang nyindir dan muka tembok, begitu sesuai dengan apa yang ada di benak kita. Pun Marsha Timothy sebagai Prita yang pada mulanya judes dan sikapnya yang menohok pada Topan. Tetapi kita semua tahu, lirikannya mengandung makna lain. Vino dan Marsha yang dalam kehidupan nyata memang sepasang suami-istri barangkali tidak terlalu membutuhkan upaya keras dalam pembangunan chemistry itu. Mungkin tak lama lagi kita akan melihat film romantis mereka berdua. Patut pula diapresiasi bahwa Vino G. Bastian juga memang betul-betul latihan menjahit bersama Harry Palmer, seorang pembuat jas terkemuka dan memang inspirasi film ini. Dua bulan ia habiskan untuk melatih keterampilan tersebut hingga ia kini bisa menjahit jas sendiri. Adalah nyata bahwa masih sulit bagi aktor lain untuk menggeser eksistensi Vino dalam dunia perfilman tanah air.

Tampan Tailor juga seperti menegaskan kelebihan Guntur Soeharjanto yang mengingatkan kita pada Otomatis Romantis (2008). Di film tersebut ia juga menampilakn sisi humanis dan membantu mengembangkan chemistry yang meyakinkan antara pemainnya seperti hubungan antara pegawai dengan atasan, dan orang-orang yang mengelilinginya. Oiya, penampilan Ringgo Agus Rahman di film ini adalah salah satu penampilannya yang terbaik. Ia juga sempat mengalami patah kaki betulan hingga tiga bulan lantaran melakoni salah satu adegan. Sementara Jefan Nathanio tampak memiliki potensi menjadi aktor handal nantinya.

Tema penceritaan film yang cukup jarang di Indonesia ini adalah alternatif segar. Jika saja hubungan chemistry antara ayah dan anak yang memang bagian fundamental sedikit diperdalam lagi, mungkin Tampan Tailor akan tampil lebih luar biasa. Walau begitu, Tampan Tailor adalah film yang dapat menyentuh segala lapisan masyarakat, yang layak disaksikan dan patut diacungi jempol.

  






3/5