Jumat, 24 Januari 2014

Captain Phillips (2013)





Perjalanan Kapten Phillips membelah lautan bersama awak kapalnya terlihat adem ayem saja sampai pada akhirnya ia melihat dua titik kecil yang mendekat ke arah kapalnya pada radar navigasi. Sejak awal penonton diperlihatkan captain’s itinerary yang menunjukkan Captain Richard Phillips (Tom Hanks) akan menuju Kenya untuk memimpin kapal kargo Maersk Alabama yang berisi 20 awak kapal dan 17.000 ton container. “They're not here to fish,” kemudian ujar Phillips sembari menyuruh anak buahnya bersiap.

Diangkat dari buku A Captain’s Duty: Somali Pirates, Navy SEALS, and Dangerous Days at Sea karya Richard Phillips dan Stephan Talty, film ini memang kisah nyata Philips yang mengalami pembajakan kapal oleh kawanan perompak Somalia pimpinan Muse.

Dua perahu motor butut yang terdeteksi radar tersebut berisi orang-orang—kebanyakan pemuda—bersenjata yang mencari kapal apa saja yang bisa dibajak. Mereka semua baru saja dibentak-bentak oleh ajudan bos besar: “Bawakan ia kapal lainnya, atau kalian akan berhadapan dengannya.” Mereka akhirnya menemukan Maersk Alabama. Tetapi kemudian salah satu perahu motor putar balik meninggalkan kapal tersebutberkat kecerdikan Phillipsdan tinggallah perahu motor yang dikomandani Muse (Barkhad Abdi). Ia dan anak buahnya kemudian berhasil merangsek, mengambil alih kapal dan melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya perompak. “Captain, relax.. nobody get hurts. No Al-Qaeda here. Just bussinees, we want money.” Dan kemudian urusannya jadi panjang.

Selebihnya adalah gelisah-ketegangan. Lewat negosiasi-negosiasi yang berjalan, bak permainan catur dengan strategi berat, Phillips dan Muse sama-sama mempunyai rencana-rencana yang harus dilakukan.
Film ini berhasil masuk sebagai salah satu nominasi Best Picture dalam Academy Award tahun ini. Dengan seni peran berkelas dari Tom Hanks dan Barkhad Abdi, jadi membingungkan karena ketiadaan nama Tom Hanks pada nominasi Best Leading Actor—sementara Abdi masuk nominasi Best Supporting Actor.
Tom Hanks berhasil memerankan sosok kapten yang sangat bertanggung jawab pada pekerjaannya dan melindungi awak kapalnya. Ia berhasil menunjukkan ketenangan dan kewarasan tingkat tinggi seperti layaknya seorang kapten (Richard Phillips pun diceritakan baru kali itu dibajak). Wabil khusus pada bagian-bagian akhir, penampilannya adalah kaliber Oscar. Barkhad Abdi juga brilian. Seorang pimpinan perompak bertubuh ceking yang pantang mundur, tetapi juga sepi dan terlantar. Ia pintar, tetapi naif. Ia musuh yang tak segan membunuh, tapi juga berbelas kasih. Semua pada waktu yang bersamaan. Fakta bahwa ia belum pernah mempunyai pengalaman acting karena sebelumnya hanya menjadi supir taksi di Minnesota tentu makin membuat kita kagum. Barkhad Abdirahman sebagai anak buah Muse yang ngeyel juga tampil memukau. Casting director Francine Maisler memang mencari orang-orang Somalia di sekitar Mineapolis tempat para imigran Afrika bermukim.
Yang dilakukan Paul Greegrass sang sutradara mirip pada United 93 garapannya. Ia membiarkan kita mengintip secara terpisah kehidupan baik korban maupun penyerang sebelum konflik. Pada Captain Phillips kita disuguhi dengan perbincangan Phillips dengan istrinya saat perjalanan ke bandara yang bukannya membahas ketakutan akan perompak, melainkan kecemasan akan masa depan anaknya. Lalu kita dibawa ke Somalia: tandus debu dan kemiskinan, di mana para pemuda bahkan anak bau kencur ikut mengantri berharap bisa dipilih menjadi perompak oleh Muse dan yang lain. Greengrass tidak harus mengisi tentang banyaknya kekerasan dan kekacauan di Somalia untuk memberitahu kita bahwa orang-orang ini memiliki sedikit pilihan dalam hidup.
Sebuah film yang mesti ditonton bagi mereka yang menganggap bajak laut adalah Jack Sparrow.








4/5

Rabu, 08 Januari 2014

Gangster Squad (2013)





Di malam ganjil dengan lolongan anjing yang bersahut-sahutan, seorang pria bonyok dan tergeletak di rumput. Tangannya diikat dengan rantai yang dililitkan ke mobil yang siap menariknya ke arah timur, begitu juga kakinya, dengan mobil yang siap menariknya ke arah barat. Di ujung riwayatnya, pria itu sibuk menyumpahserapahi pimpinan gangster bengis yang ada di hadapannya. Beberapa detik kemudian, pedal diinjak dan tubuhnya terbelah. Ususnya terburai dan jadi makan malam anjing hutan. “Now you go back to Chicago, you tell them that Los Angeles belongs to Mickey Cohen,” ujar si bengis pada teman si usus terburai yang dibiarkan selamat itu.

Dengan jajaran artis seperti Sean Penn, Nick Nolte, Josh Brolin, Ryan Gosling dan Emma Stone, film bertema action-crime ini menjanjikan sesuatu yang layak dinanti setelah film-film bertema serupa seperti The Untouchables, L.A. Confidential, Scar Face atau American Gangster. Hadir line-up yang cukup berkilau, tantangannya memang ada pada naskah (adaptasi) yang digarap Will Beall dari buku Tales from the Gangster Squad gubahan Paul Lieberman. Tentunya penonton sudah cukup akrab dengan suburnya film bertema mafia/gangster dan Will Beall terbukti kurang dapat memberikan pembaruan dengan plot atau kejutan-kejutan yang ditawarkan pada film ini. Memang menjadi tantangan tersendiri bagi sineas untuk memeras otaknya dewasa ini jika ingin membuat sesuatu yang lain pada film mafia/gangster.

Gangster Squad menyajikan Mickey Cohen (Sean Penn) sebagai gangster besar sekaligus dealer heroin penguasa Los Angeles yang mempunyai banyak polisi dan hakim sebagai temannya. Untungnya di kota itu masih ada orang-orang berbudi baik. Adalah kepala polisi, Parker (Nick Nolte) yang menunjuk seorang sersan ambisius, mantan pejuang pada perang dunia kedua, John O’Mara (Josh Brolin), untuk membentuk tim khusus dalam rangka menghancurkan kerajaan Mickey Cohen. John kemudian memilah dan akhirnya menunjuk empat orang (plus satu orang di luar rencana) menjadi bagian dari timnya.

Lalu mereka mulai menyisir titik-titik praktik/daerah kekuasaan Cohen dan dengan kemunculan Grace (Emma Stone) sebagai pacar Cohen, pastilah penonton sudah tahu bahwa ia bakal kepincut dengan ketampanan Jerry Wooters (Ryan Gosling), salah satu anggota dari tim khusus penghancur Cohen.

Pada akhirnya berbagai hantaman daya kejut dan belokan di setiap pergantian babak terlalu mudah ditebak. Meski Sean Penn dan yang lain adalah artis dengan seni peran yang baik, plot film ini tak lagi mengejutkan. Beberapa karakter juga tak terlalu berkembang dalam penceritaannya sehingga terkesan hanya menjadi tempelan saja.

Namun demikian dalam segi teknis, Gangster Squad memuaskan dengan produksi yang rapi, seni peran yang apik, tata kostum yang oke dan setting yang cukup meyakinkan untuk tahun 40-an. Adegan pertempuran dengan peluru maupun tangan kosong pun cukup mengasyikkan dengan aksi-aksi yang banyak memuncratkan darah. Walau agak superficial pada naskahnya, Ruben Fleischer sang sutradara dengan baik dapat menghidupkan aura dari film 40-an dalam tone, karakter, dan narasi. 









3,5/5

Selasa, 07 Januari 2014

Before Midnight (2013)





Sebuah lanjutan drama romantis kenamaan ciptaan Richard Linklater, susulan kisah dari Before Sunrise (1995) dan Before Sunset (2004) yang tentu saja masih tentang hubungan antara Jesse dan Celline. Terinspirasi dari seorang perempuan yang betul-betul menghabiskan malam dengan ngobrol sambil berjalan mengitari Philadelphia bersama Richard, film ini masih dengan patron khasnya dengan dialog-dialog yang bersahutan. Kadang cerita tentang masa lalu, lontaran uneg-uneg, atau hanya sekadar mengomentari falsafah hidup yang kerap membingungkan.

Dalam Before Sunrise, Jesse (Ethan Hawke) dan Celline (Julie Delpy) adalah wisatawan muda yang berkenalan di gerbong kereta yang dalam sekejap kemudian menyusuri jalan-jalan Vienna sambil ngobrol ngalur-ngidul tentang apa saja. Sembilan tahun kemudian, Ethan Hawke dan Julie Delpy ikut ambil bagian dalam naskah Before Sunset, di mana kedua orang ini diceritakan bertemu kembali di Paris dengan masing-masing telah memiliki kehidupannya sendiri. Naskah tersebut—dengan keambiguitasan ending yang brilian—diganjar nominasi Oscar. 

Sembilan tahun kemudian (mengapa harus selalu sembilan tahun?) lahirlah Before Midnight. Film dibuka dengan adegan Jesse melepas kepergian anaknya yang akan terbang ke rumah mantan istri Jesse di Amerika, setelah menghabiskan liburan musim panas bersama ayahnya. Keluar dari airport, Jesse sudah ditunggu Celline dan dua putri kembar di mobil. Penonton pun kemudian tahu ke mana arah ending Before Sunset. Film ketiga ini ber-setting di Yunani, dengan Jesse diundang dan menginap di rumah expat writer yang merupakan mentornya, di sebuah rumah bohemian yang indah.

Before Sunrise bermain pada kespontanitasan. Before Sunset, adalah pertemuan kembali setelah bertahun-tahun—walaupun mereka sudah punya keluarga sendiri—yang akan membuat penonton bertanya-tanya, akankah? Mungkinkah? Pada Before Midnight, concern lebih kepada apakah waktu memihak mereka dan perihal sekelumit kecemasan. “This is the day you light the ticking bomb that will destroy our lives.”

Untuk pertama kalinya kita akan melihat konflik yang “cukup serius” pada trilogi ini. Letupan dimulai ketika Jesse membahas bahwa seharusnya ia lebih mengemong putranya—hasil hubungannya dengan mantan istrinya. Jesse merasa bahwa ia terlalu jauh dan tidak menjadi ayah yang sebagaimana mestinya. Pusaran konflik ini adalah mengenai apakah mereka harus pindah ke Chicago atau tidak—karena Celline tidak bisa melakukan itu. Percikan kecil itu jadi pembukaan konflik yang oke nantinya. Delapan belas tahun berlalu, arah pembicaraan kini mengarah lebih melankolis: apakah waktu akan menggerus mereka.

Seperti ketika makan siang bersama pemilik rumah dan yang lainnya yang suasananya jadi agak kurang nyaman—hanya bagi mereka berdua—ketika dalam obrolan santai, Celline yang terus nyerocos tak sengaja kembali membahas Chicago. Raut muka Jesse tentu saja berubah asem karena menganggap Celline berlebihan berasumsi. Terpikir kembali mengenai “ticking bomb”. Makin klop karena perempuan tua di meja makan tiba-tiba berfalsafah, “We appear and we disappear. And we are so important to some. But we are just passing through.” Mereka semua kemudian bersulang, tetapi kita tahu, Jesse dan Celline merasakan gelas yang mendadak berat

Ethan Hawke dan Julie Delpy kembali ambil bagian dalam pembuatan naskah bersama Richard Linklater. Penampilan keduanya pun sangat baik. Jika ada yang harus dikeluhkan mungkin terlalu banyaknya dialog pada bagian awal. Karakter keduanya betul-betul mapan. Penampakan sudut-sudut Vienna dan Paris pada film pendahulunya juga sedikit banyak mewakilkan karakter mereka. Kini di Yunani, lanskap-lanskap tanah berbatu seakan menyiratkan hubungan keduanya. Kalaupun kita merasa adanya pengulangan pola, kita akan memaklumi karena kita semua rindu pada percakapan khas ala Before series

Paruh akhir film adalah sajian utama Before Midnight. Argumen-argumen realistis, memanas karena keinginan yang bertentangan. Walau tidak berapi-api, kita bisa merasakan bahwa sebetulnya kepala mereka ingin pecah. Bahwa dalam waktu-waktu yang membahagiakan, sebetulnya mereka juga menginginkan hal yang berbeda. Richard Linklater mengirimkan pesan bahwa cinta sejati bukanlah hanya menghanyut pada satu malam, tetapi bagaimana mereka melibatkan kerja dan kompromi dan memberikan segalanya. Pada adegan-adegan akhir, amat kentara bagaimana mereka coba menjawab itu.

Ending dari Before series selalu apik—jika tidak dikatakan monumental. Entah bagaimana itu jenis ending-nya. Richard Linklater memang punya kelebihan dalam membangun urutan dan pengaturan yang cantik. Lihatlah percekcokan antara Jesse dan Celline: seimbang, sama sekali tak berat sebelah. Before Midnight mungkin akan menyentil penontonnya—khususnya pengikut Before series—dengan kemungkinan-kemungkinan asmara.


  


 




4/5