Jumat, 28 Oktober 2016

Doctor Strange (2016)





 “Feels So Good” milik Chuck Mangione yang disetel dari ipod mengambang di ruangan. Strange memimpin jalannya operasi sambil berdebat dengan rekannya ihwal kapan lagu tersebut diproduksi. Dari kaca luar, terlihat Palmer (Rachel McAdams) yang koleganya sesama dokter sekaligus mantan pacarnya memberikan kode. Strange segera pindah ke ruangan lain untuk menangani  pasien dengan situasi yang lebih serius dan menantang.

Stephen Strange (Benedict Cumberbatch) memang seorang jenius. Ia seorang neurosurgeon alias dokter bedah untuk mengatasi penyakit yang berhubungan dengan sistem syaraf dan otak yang sering masuk televisi. Otaknya brilian, tangannya terampil. Pria yang lumayan arogan dan selalu ingin jadi yang terbaik itu punya karier gemilang. Maka dari itu mudah saja baginya untuk memilih jam tangan mahal mana yang akan ia pakai malam nanti dan kemudian melesat dari apartemennya yang mewah di Manhattan dengan mobil sport miliknya.

Itulah Stephen Strange yang diperkenalkan ke penonton, sampai akhirnya ia mengalami kecelakaan yang menyebabkan tangannya setengah lumpuh. Kemudian kita tahu bagaimana terguncangnya dunia serba ideal milik Strange.

Berbagai cara ia lakukan agar dapat kembali pada kondisi semula, namun selalu gagal, sampai akhirnya ia bertemu Jonathan Pangborn yang pernah sembuh total dari cedera yang lebih parah. Strange kemudian pergi ke Kamar-Taj di Nepal setelah mendapat saran dari Pangborn dan di sana ia bertemu Mordo (Chiwetel Ejiofor), Wong (Benedict Wong), dan The Ancient One (Tilda Swinton). “I don't believe in fairytales about chakras or energy or the power of belief.” Tentu saja pengetahuan “barat” Strange menolak segala apa yang dijelaskan di sana. “You think you know how the world works. You think this material universe is all there is. What if I told you the reality you know is one of many?”.

Di sana kesadaran Strange terbuka akan ranah yang tak terlihat, rahasia astral, multiverse paralel, juga ihwal muslihat dimensi ruang dan waktu. Pada awalnya jelas ia kelojotan karena tujuannya ke sana hanyalah untuk menyebuhkan dirinya dan lalu mendapati situasi yang berbeda. “Heroes like the Avengers protect the world from physical dangers. We safeguard it against more mystical threats,” Wong menjelaskan.

Tentu yang terjadi selanjutnya adalah formulasi khas Marvel tentang bagaimana kemudian khalayak harus diselamatkan. Yang menyegarkan adalah Doctor Strange tak terkesan bak-buk-bak-buk seperti Iron Man dan Captain America. Para pahlawan dan penjahat di sini menekuk ruang dan waktu, melampaui dimensi metafisik; menggunakan lingkungan sebagai senjata atau jalan kabur. Penonton akan melihat sinematografi kelas satu dengan konkretisasi visual juga pesona misterinya yang spektakuler.

Yang agak disayangkan adalah talenta Mads Mikkelsen yang tersia-siakan, yang menjadi Kaecilius, murid Ancient One yang membelot. Rachel McAdams juga kurang mendapat porsi yang lebih banyak, padahal penonton tentu ingin melihat bagaimana hubungan antara Strange dan Palmer dengan intensitas yang lebih kuat.

Selain Scott Derrickson sang sutradara—ia bersama C. Robert Cargill untuk penulisan skripnya yang sangat baik—dan Ben Davis sebagai sinematografer, yang harus diapresiasi adalah Michael Giacchino sebagai komposer dengan scoring-nya yang tak ribut tetapi juga bukan hanya sebagai iringan tempelan saja, melainkan mampu menghadirkan musik bersukma yang mampu mengiringi Strange dan yang lain berpetualang dalam hamparan penuh rahasia.










4/5