Rabu, 14 Desember 2016

Rogue One: A Star Wars Story (2016)



Pada sebuah hari yang tenang, tempat tinggal Galen Erso (Mads Mikkelsen) yang berada di antara bukit-bukit hijau dan gurun yang menghitam, disambangi oleh Orson Krennic (Ben Mendelsohn) bersama pasukannya. Galen yang ilmuan jenius itu selama ini bersembunyi dan enggan bekerja untuk Galactic Empire. Tentu sebelum Galen berbicara dengan Krennic, ia sudah menyuruh anaknya kabur dan bersembunyi—yang kemudian diselamatkan Saw Gerrera (Forest Whitaker), salah satu pimpinan pemberontak. Tak bisa mengelak, Galen dicokok dan terpaksa ikut—juga karena punya agenda tersendiri—untuk membuat senjata maha dahsyat.

Bertahun-tahun kemudian, Jyn Erso sang bocah kecil yang kini sudah dewasa itu dibawa Rebel Alliance untuk melawan Galactic Empire. Rebel Alliance adalah kumpulan pemberontak, yang juga mempunyai dewan pengambil keputusan, yang tak henti-hentinya merong-rong kekaisaran dan akan mencuri rencana pengembangan Death Star buatan Galen Erso—senjata pemusnah yang kekuatannya telah dilihat dalam trilogi asli Star Wars—milik Galactic Empire. Sayangnya senjata ini hampir rampung. Pilihan para pemberontak hanyalah menemukan kelemahannya.

Rogue One adalah spin off pertama dari Star Wars yang mempunyai campuran antara hal yang sudah familiar dengan karakter-karakter yang belum pernah ada dalam Star Wars universe. Film ini ber-setting sebelum event dalam Episode IV dimulai, seperti semacam pengisi sebelum episode VIII yang tayang tahun depan. Disutradarai oleh Gareth Edwards, ditulis oleh Chris Weitz dan dikarang dengan brilian oleh Gary Whitta dan John Knoll, Rogue One mempunyai suguhan sinematik yang spektakuler. Terbantu oleh teknologi yang semakin maju, Edwards dan rekan juga sanggup menciptakan sequences perang dan kehancuran yang cukup berbeda dari yang pernah kita lihat pada dunia Star Wars.

Ketika diorama Star Wars banyak terkungkung pada lingkaran klan Skywalker, Rogue One amat dan yang paling kuat menghamparkan peperangan antara pemberontak dan kekaisaran dalam epos yang dahsyat serta ihwal misinya, dan inilah yang membedakan Rogue One dengan riwayat lain dalam Star Wars universe. Pendekatan yang dilakukan Edwards perihal aksi, narasi, dan visualnya yang berkembang inovatif yang sangat amat keren—ada beberapa adegan yang mengingatkan pembaca Dragon Ball pada episode Freeza di Planet Namec—membuat filmnya berjalan amat efektif dan mengalir lancar.

Jina Jay patut diapresiasi sebagai casting director—dan juga tentu para aktor—yang dapat mengumpulkan pemeran untuk karakter-karakter Rogue One. Felicity Jones menghidupkan karakter Jyn. Seperti Carie Fisher atau Daisy Ridley, dengan tradisi lead perempuan Star Wars yang memiliki determinasi. Seorang kriminal—kita lihat ia dipenjara sebelum akhirnya direbut Rebel Alliance—pencari ayahnya, yang terus berharap. “We have hope. Rebellions are built on hope!”. Diego Luna pun cemerlang sebagai Captain Cassian Andor, andalan kelompok pemberontak yang banyak menjalankan misi-misi gelap dengan masa lalu yang juga kelam. Mads Mikkelsen juga akhirnya tak disia-siakan seperti dalam Doctor Strange. Donnie Yen begitu bersinar membawakan karakter Chirrut Imwe, biarawan tunanetra jago bela diri yang selalu merasa “The Force” bersamanya, dan Forrest Whitaker sebagai Saw Gerrera, ekstrimis lelah penyimpan rahasia. Yang juga mencuri perhatian yaitu Ben Mendelsohn yang menjadi Orson Krennic, yang merasa usaha kerasnya selama ini kurang dihargai dan ingin kaisar tahu akan prestasinya. Dalam Rogue One, sisi komedi disampaikan oleh robot tinggi cerdas yang berbicara dengan nada sarkastis, K-2SO, yang disuarakan Alan Tudyk.

Edwards dapat mencampurkan dengan baik antara hal-hal yang telah familiar dengan pengetahuan baru dalam Star Wars universe dan menyajikannya dengan penuh perhitungan serta berhasil membuat  semua pemain untuk tampil prima.

Rogue One adalah film fantasi yang benar-benar menghibur, yang akan sangat cocok untuk penonton yang masih meraba-raba atau bahkan tak peduli dengan semesta Star Wars.
.












4/5


Jumat, 09 Desember 2016

Headshot (2016)




Tersebutlah seorang pria bernama Ishmael yang terbaring di ranjang sebuah rumah sakit. Nama 'Ishmael' diberikan oleh Ailin (Chelsea Islan), seorang dokter yang tengah bertugas di tempat itu yang setia menunggui pria koma tersebut, karena Ishmael tanpa asal-usul—ia ditemukan terdampar di sebuah pantai oleh seorang nelayan. Ishmael (Iko Uwais), yang akhirnya sadar setelah dua bulan, tak mampu mengingat siapa dirinya. Pria berperut sixpack itu terkadang hanya merasakan potongan-potongan masa lampau yang berkelebat dalam kepalanya.

Ailin yang cantik, baik hatinya, rambut kuncir kuda, pandai merawat sekaligus penikmat karya Herman Melville, kompletlah pokoknya, kemudian mengajak Ishmael pergi ke Jakarta agar peluru yang masih tersangkut di tengkorak Ishmael bisa diambil, juga karena masa Ailin bertugas di tempat itu telah selesai. Tetapi Ishmael menolak. Lho kenapa? Oh, Ishmael ingin lebih dulu mengembalikan ingatannya, mencari tahu jati dirinya.

Duet sutradara Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel (Mo Brothers) kali ini mencoba subgenre action martial arts setelah sebelumnya sukses pada genre thriller yang mengangkat nama mereka. Aksi menegangkan mulai terjadi ketika Ishmael dicari-cari sekawanan bandit. Para bandit kemudian menculik Ailin karena ia dianggap tahu hal-hal mengenai Ishmael yang akan coba dibunuh sekaligus memancingnya.

Apa hubungannya? Ternyata dahulu Ishmael merupakan salah satu awak bandit—Ishmael bernama asli Abdi—yang kemudian insaf dan membelot. Bos besar, Lee (Sunny Pang), tentu saja murka, ditambah karena ia sempat dipenjara gara-gara ulah Ishmael. Lee ini penjahat yang misterius sekaligus disegani dan mempunyai reputasi di kalangannya. Ia menculik anak-anak untuk dibesarkan menjadi penjahat beringas, jago tengkar, dan loyal. Lee mengganggap dirinya adalah ayah dari mereka. Maka dari itu Ishmael harus disingkirkan kali ini karena pada percobaan pertama.. ada sebuah insiden.

Kita tahu memuncrat-muncratkan darah adalah keahlian Mo Brothers. Tetapi ada hal-hal yang disayangkan pada Headshot. Perbedaan cara menikmati memang, tetapi banyak momen di mana sulit untuk percaya pada beberapa bagian. Walau hal seperti ini biasanya cukup dimaklumi pada film martial arts, tetapi film dengan berliter-liter darah juga butuh tensi, dan hal ini yang terasa kurang pada Headshot. Mau tak mau walau tak adil, penonton akan membandingkan Headshot dengan The Raid dan membuat film garapan Gareth Evans itu terlihat seperti masterpiece. Headshot amat hemat plot dan karakter. Penceritaan hubungan antara Ishmael dan Ailin juga kurang tajam dan kurang berwarna. Yang paling membuat sedih adalah karakter Rika (Julie Estelle) yang betul-betul mendapat porsi sangat terbatas dan karakternya tak berkembang, padahal ini adalah salah satu yang paling ditunggu penonton. Di film, kita tahu bahwa pada masa lampau Ishmael/Abdi punya hubungan yang dekat bersama Rika—juga Ishmael dengan bandit yang lain—tetapi hanya sebatas itu dan sulit untuk membuat penonton bersimpati. Ishmael dan mantan rekan-rekannya juga kurang berdialektika ihwal jati diri Ishmael. 

Pada akhirnya film ini terkesan hanya sebagai rangkaian aksi hajar-menghajar dan tembak-menembak yang sayangnya, juga tak ada yang betul-betul monumental, padahal mereka punya Iko Uwais yang sangat punya kapasitas tetapi terasa kurang dimanfaatkan. Jika saja Mo Brothers lebih bisa memberikan napas pada karakter-karakternya dan memaksimalkan potensi hubungan mereka, penonton akan lebih merasakan emosi dan Headshot akan menjadi sajian yang kian.

Namun Headshot punya tata visual yang berkelas. Sunny Pang yang memerankan Lee juga bersinar. Beberapa selipan komedi dalam film ini pun sungguh berhasil. Tentu saja Headshot adalah sebuah usaha yang amat patut diapresiasi dan film yang sangat layak tonton.





3/5