Kamis, 01 September 2016

Train to Busan (2016)





“Dad, you lied again.”

Kalimat itu meluncur menohok dari bibir gadis kecil yang merasa ayahnya terus menerus diterpa kesibukan. So-aan (Soo-an Kim) yang besok berulangtahun tak mau bingkisan apapun kecuali bertemu ibunya. Sang ayah, Seok Woo (Yoo Gong), yang seorang manajer pendanaan, yang powerful dan kaya itu sebetulnya sayang anaknya. Tetapi dengan setumpuk pekerjaan yang mesti ia urus membuatnya tak dapat meluangkan banyak waktu dengan So-aan dan membuat anaknya lebih banyak menghabiskan waktu dengan sang nenek yang tinggal bersama Seok Woo karena pria itu telah bercerai dengan istrinya. “I’ll take you to Mom, no matter what,” kata Seok Woo setelah merasa hubungannya dengan anaknya sudah mencapai titik nadir. Berangkatlah mereka berdua dari Seoul menuju Busan menggunakan kereta.

Di kereta yang segalanya nampak biasa-biasa saja pada awalnya, berubah mencekam. Seorang perempuan aneh berhasil masuk ke dalam kereta tanpa diketahui petugas. Perempuan itu mengunyah leher salah seorang petugas kereta dan dalam hitungan detik petugas itu berubah menjadi ganas pula: matanya berubah menjadi putih mengkilap, kulit pucat dengan vena menonjol, berlari memburu penumpang lain sambil menggeram keras. Sementara di gerbong lain, televisi menyiarkan berita ihwal infeksi yang menjangkiti kota. Kacau. Kata “mayat hidup” menjadi tren di media sosial. Dalam waktu singkat banyak penumpang kereta yang berubah menjadi “zombie” dan para yang tak terjangkit—belum tergigit—berusaha menyelamatkan diri di hari paling buruk dalam hidup mereka.

Di sinilah lika-liku cerita menajam. Selain konflik dengan para zombie, para penumpang selamat juga berkonflik dengan penumpang selamat lainnya mengenai ego masing-masing. Dengan beragam macam jenis manusia di dalam kereta: seorang pebisnis, anak-anak SMA anggota tim baseball, nenek-nenek, homeless guy dan perempuan hamil beserta suaminya yang kekar namun lembut hatinya, semuanya mengalami konflik antara mementingkan diri sendiri atau tetap menolong yang lain dengan kecenderungan apes yang besar. “At a time like this, only watch your self,” tegur Seok Woo kepada anaknya setelah gadis itu memberikan tempat duduknya kepada perempuan tua.

Meski film ini membuat adrenalin berpacu dan penuh kekerasan, tetapi dengan cerdas sang sutradara yang juga penulisnya, Sang-ho Yeon, memadukan yang demikian itu dengan melodrama yang seimbang. Pergesekan antara mempertahankan diri atau berkorban di sini dijelentrehkan Sang-ho Yeon dengan brilian yang menampilkan stereotip berkenaan dengan masyarakat modern saat ini dengan karakter-karakter yang kaya. Seorang pebisnis kurang ajar (diperankan dengan baik oleh Kim Ui-Seon) yang serakah, egois, yang sering menganggap diri mereka yang pertama, begitu pas dengan apa yang ada dalam benak kita. Soo-an sang gadis cilik mewakili kita: bagaimana harus bereaksi dalam keadaan gila dan apakah moral dan nilai-nilai yang kita miliki akan memengaruhi tindakan kita. Karakter badass diperankan oleh Dong-seok Ma yang justru mencuri perhatian: dengan tubuh besar dan kekar yang meninju menghajar zombie yang ada di hadapannya agar istrinya yang tengah hamil terus bertahan.

Tak ada adegan yang dipaksakan dalam Train to Busan dan sang sutradara mampu menjaga flow terasa pas dari awal hingga akhir dengan pace yang cepat. Di sini kita juga akan merasakan napas George Romero dan Danny Boyle. Lanskap kota Seoul yang hancur dan suasana mencekam mampu dihadirkan dengan sangat baik dengan tata sinematografi yang top, juga scoring-nya. Penggemar film bergenre ini rasa-rasanya akan dengan mudah menyukai film ini.






 

4/5