“Feels So Good” milik Chuck Mangione yang disetel
dari ipod mengambang di ruangan. Strange memimpin jalannya operasi sambil
berdebat dengan rekannya ihwal kapan lagu tersebut diproduksi. Dari kaca luar,
terlihat Palmer (Rachel McAdams) yang koleganya sesama dokter sekaligus mantan
pacarnya memberikan kode. Strange segera pindah ke ruangan lain untuk
menangani pasien dengan situasi yang
lebih serius dan menantang.
Stephen
Strange (Benedict Cumberbatch) memang seorang jenius. Ia seorang neurosurgeon alias dokter bedah untuk
mengatasi penyakit yang berhubungan dengan sistem syaraf dan otak yang sering
masuk televisi. Otaknya brilian, tangannya terampil. Pria yang lumayan arogan
dan selalu ingin jadi yang terbaik itu punya karier gemilang. Maka dari itu mudah
saja baginya untuk memilih jam tangan mahal mana yang akan ia pakai malam nanti
dan kemudian melesat dari apartemennya yang mewah di Manhattan dengan mobil
sport miliknya.
Itulah
Stephen Strange yang diperkenalkan ke penonton, sampai akhirnya ia mengalami
kecelakaan yang menyebabkan tangannya setengah lumpuh. Kemudian kita tahu bagaimana
terguncangnya dunia serba ideal milik Strange.
Berbagai
cara ia lakukan agar dapat kembali pada kondisi semula, namun selalu gagal, sampai
akhirnya ia bertemu Jonathan Pangborn yang pernah sembuh total dari cedera yang lebih parah. Strange kemudian pergi ke Kamar-Taj di Nepal setelah
mendapat saran dari Pangborn dan di sana ia bertemu Mordo (Chiwetel Ejiofor),
Wong (Benedict Wong), dan The Ancient One (Tilda Swinton). “I don't believe in
fairytales about chakras or energy or the power of belief.” Tentu saja
pengetahuan “barat” Strange menolak segala apa yang dijelaskan di sana. “You
think you know how the world works. You think this material universe is all
there is. What if I told you the reality you know is one of many?”.
Di
sana kesadaran Strange terbuka akan ranah yang tak terlihat, rahasia astral, multiverse paralel, juga ihwal muslihat
dimensi ruang dan waktu. Pada awalnya jelas ia kelojotan karena tujuannya ke sana hanyalah untuk menyebuhkan dirinya dan lalu mendapati situasi yang berbeda. “Heroes like the Avengers protect the world from
physical dangers. We safeguard it against more mystical threats,” Wong
menjelaskan.
Tentu
yang terjadi selanjutnya adalah formulasi khas Marvel tentang bagaimana
kemudian khalayak harus diselamatkan. Yang menyegarkan adalah Doctor Strange tak terkesan bak-buk-bak-buk
seperti Iron Man dan Captain America. Para pahlawan dan
penjahat di sini menekuk ruang dan waktu, melampaui dimensi metafisik; menggunakan
lingkungan sebagai senjata atau jalan kabur. Penonton akan melihat sinematografi
kelas satu dengan konkretisasi visual juga pesona misterinya yang spektakuler.
Yang
agak disayangkan adalah talenta Mads Mikkelsen yang tersia-siakan, yang menjadi
Kaecilius, murid Ancient One yang membelot. Rachel McAdams juga kurang mendapat
porsi yang lebih banyak, padahal penonton tentu ingin melihat bagaimana
hubungan antara Strange dan Palmer dengan intensitas yang lebih kuat.
Selain
Scott Derrickson sang sutradara—ia bersama C. Robert Cargill untuk penulisan
skripnya yang sangat baik—dan Ben Davis sebagai sinematografer, yang harus diapresiasi adalah
Michael Giacchino sebagai komposer dengan scoring-nya
yang tak ribut tetapi juga bukan hanya sebagai iringan tempelan saja, melainkan
mampu menghadirkan musik bersukma yang mampu mengiringi Strange dan yang lain berpetualang
dalam hamparan penuh rahasia.
4/5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar