Tersebutlah
seorang pria bernama Ishmael yang terbaring di ranjang sebuah rumah sakit. Nama 'Ishmael' diberikan oleh Ailin (Chelsea Islan), seorang dokter yang tengah
bertugas di tempat itu yang setia menunggui pria koma tersebut, karena Ishmael
tanpa asal-usul—ia ditemukan terdampar di sebuah pantai oleh seorang nelayan. Ishmael
(Iko Uwais), yang akhirnya sadar setelah dua bulan, tak mampu mengingat siapa
dirinya. Pria berperut sixpack itu terkadang hanya merasakan potongan-potongan masa
lampau yang berkelebat dalam kepalanya.
Ailin
yang cantik, baik hatinya, rambut kuncir kuda, pandai merawat sekaligus penikmat karya Herman Melville, kompletlah pokoknya, kemudian mengajak Ishmael pergi ke Jakarta agar
peluru yang masih tersangkut di tengkorak Ishmael bisa diambil, juga karena
masa Ailin bertugas di tempat itu telah selesai. Tetapi Ishmael menolak. Lho
kenapa? Oh, Ishmael ingin lebih dulu mengembalikan ingatannya, mencari tahu jati dirinya.
Duet
sutradara Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel (Mo Brothers) kali ini mencoba
subgenre action martial arts setelah
sebelumnya sukses pada genre thriller
yang mengangkat nama mereka. Aksi menegangkan mulai terjadi ketika Ishmael
dicari-cari sekawanan bandit. Para bandit kemudian menculik Ailin karena ia
dianggap tahu hal-hal mengenai Ishmael yang akan coba dibunuh sekaligus
memancingnya.
Apa
hubungannya? Ternyata dahulu Ishmael merupakan salah satu awak bandit—Ishmael bernama
asli Abdi—yang kemudian insaf dan membelot. Bos besar, Lee (Sunny Pang), tentu
saja murka, ditambah karena ia sempat dipenjara gara-gara ulah Ishmael. Lee ini
penjahat yang misterius sekaligus disegani dan mempunyai reputasi di kalangannya. Ia menculik anak-anak untuk dibesarkan menjadi penjahat beringas, jago tengkar, dan loyal. Lee mengganggap dirinya
adalah ayah dari mereka. Maka dari itu Ishmael harus disingkirkan kali ini
karena pada percobaan pertama.. ada sebuah insiden.
Kita
tahu memuncrat-muncratkan darah adalah keahlian Mo Brothers. Tetapi ada hal-hal
yang disayangkan pada Headshot. Perbedaan
cara menikmati memang, tetapi banyak momen di mana sulit untuk percaya pada beberapa bagian. Walau hal seperti ini biasanya cukup dimaklumi pada film martial arts, tetapi film dengan
berliter-liter darah juga butuh tensi, dan hal ini yang terasa kurang pada Headshot. Mau tak mau walau tak adil,
penonton akan membandingkan Headshot
dengan The Raid dan membuat film
garapan Gareth Evans itu terlihat seperti masterpiece.
Headshot amat hemat plot dan
karakter. Penceritaan hubungan antara Ishmael dan Ailin juga kurang tajam dan
kurang berwarna. Yang paling membuat sedih adalah karakter Rika (Julie Estelle)
yang betul-betul mendapat porsi sangat terbatas dan karakternya tak
berkembang, padahal ini adalah salah satu yang paling ditunggu penonton. Di film, kita tahu bahwa pada masa lampau Ishmael/Abdi punya hubungan
yang dekat bersama Rika—juga Ishmael dengan bandit yang lain—tetapi hanya sebatas
itu dan sulit untuk membuat penonton bersimpati. Ishmael dan mantan rekan-rekannya juga kurang berdialektika ihwal jati diri Ishmael.
Pada
akhirnya film ini terkesan hanya sebagai rangkaian aksi hajar-menghajar dan
tembak-menembak yang sayangnya, juga tak ada yang betul-betul monumental, padahal
mereka punya Iko Uwais yang sangat punya kapasitas tetapi terasa kurang dimanfaatkan. Jika
saja Mo Brothers lebih bisa memberikan napas pada karakter-karakternya dan
memaksimalkan potensi hubungan mereka, penonton akan lebih merasakan emosi dan Headshot akan menjadi sajian yang kian.
Namun
Headshot punya tata visual yang
berkelas. Sunny Pang yang memerankan Lee juga bersinar. Beberapa selipan komedi
dalam film ini pun sungguh berhasil. Tentu saja Headshot
adalah sebuah usaha yang amat patut diapresiasi dan film yang sangat layak tonton.
3/5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar