Topan seperti melihat hari-hari ke depan bagai rangkaian keganasan.
Barangkali itulah yang ada dibenak Topan ketika sang istri harus diambil
tuhan lantaran kanker. Kian pelik karena Tampan Tailor, usaha jahit
kebanggaannya yang juga usaha satu-satunya itu, harus gulung tikar. Untungnya
Topan (Vino G. Bastian) masih punya Bintang (Jefan Nathanio), anak
semata-wayangnya yang baru berusia enam tahun, matahari yang terus memacu
semangatnya. “Janjiku pada Tami cuma satu: masa depan Bintang tidak akan pernah
hilang.”
Tak membutuhkan waktu lama bagi Topan untuk bertemu Darman (Ringgo Agus
Rahman), sepupunya yang juga hidup blangsak
dengan istri sarkastis dan anak yang berjibun. Topan numpang di rumah Darman
dan sementara ikut gawe jadi calo
kereta. Keseharian bersama sepupunya tersebut membuat Topan kerap bertemu
dengan Prita (Marsha Timothy), seorang pemilik kios merangkap tempat penitipan
anak dekat stasiun. Hal itu juga didukung sebuah kejadian ngawur dan seringnya
Bintang melihat ikan di kios Prita. Mengetahui Topan memiliki keahlian
menjahit, Prita merekomendasikan tempat kerja yang sesuai dengan kemampuannya. Seperti voorijder membelah jalan
tol, dengan cepat dan tanpa hambatan Topan langsung diterima di tempat kerja
barunya tersebut. Lalu kita melihat jalan terang: Topan tak lagi numpang dan
sudah berani ngajak Prita makan.
Tentu saja tak hanya selesai di situ, karena kemudian mandor ngaco (Epy
Kusnandar) di tempat kerjanya tiba-tiba mengucapkan, “Nanti siang lo nggak usah
masuk lagi, Pan. Pak manajer nggak puas sama hasil jahitan lo.” Sementara
perihal pembayaran sekolah Bintang juga tak menemukan titik cerah. Kembali
terbayang jalanan Jakarta yang pengap dan kusut. “Setiap hari bagiku selalu
sama. Tanpa kejutan.”
Kita mungkin akan langsung teringat pada Pursuit of Happynes (2006) yang diperankan Will Smith dan
anak kandungnya itu. Plot tentang perjuangan ayah dan anak yang juga terus
berjuang melewati jalan terjal dalam hidup. Diakui pula oleh sang eksekutif
produser bahwa film tersebut menjadi sumber inspirasi lahirnya Tampan Tailor. Tetapi walaupun terkesan dengan formulaik serupa, sesungguhnya isi dari Tampan
Tailor begitu berbeda.
Cerita perjuangan dan kegetiran orangtua-anak
semacam ini akan sempurna dengan skenario yang rapi dengan dialog yang jujur dan
chemistry antar setiap pemain. Vino dan Jefan mungkin sedikit mengalami
kesulitan perihal chemisty tersebut
dan hal itu wajar mengingat Jefan adalah pendatang baru sedangkan Vino memang
belum pernah merasakan punya anak. Justru hubungan Topan dengan Darman dan
Pritalah yang terlihat lebih cerah di film ini.
Bagaimana Vino tampil apik memerankan seseorang dengan aksen Jawa Tengah
yang tahu diri, juga Ringgo dengan logat betawinya yang tahu dan peka terhadap
atmosfer hidup Topan yang tengah anyir, membuat hubungan keduanya terasa begitu
solid. Simpel saja karena mereka berhasil meyakinkan kita dengan dialog yang
jujur dan pas, lagi kocak. Diperkuat pula dengan penampilan Lisye Herliman
sebagai istri Darman yang tukang nyindir dan muka tembok, begitu sesuai dengan
apa yang ada di benak kita. Pun Marsha Timothy sebagai Prita yang pada mulanya
judes dan sikapnya yang menohok pada Topan. Tetapi kita semua tahu, lirikannya
mengandung makna lain. Vino dan Marsha yang dalam kehidupan nyata memang
sepasang suami-istri barangkali tidak terlalu membutuhkan upaya keras dalam
pembangunan chemistry itu. Mungkin
tak lama lagi kita akan melihat film romantis mereka berdua. Patut pula
diapresiasi bahwa Vino G. Bastian juga memang betul-betul latihan menjahit
bersama Harry Palmer, seorang pembuat jas terkemuka dan memang inspirasi film
ini. Dua bulan ia habiskan untuk melatih keterampilan tersebut hingga ia kini
bisa menjahit jas sendiri. Adalah nyata bahwa masih sulit bagi aktor lain untuk
menggeser eksistensi Vino dalam dunia perfilman tanah air.
Tampan Tailor juga seperti menegaskan kelebihan Guntur Soeharjanto yang
mengingatkan kita pada Otomatis Romantis
(2008). Di film tersebut ia juga menampilakn sisi humanis
dan membantu mengembangkan chemistry
yang meyakinkan antara pemainnya seperti hubungan antara pegawai dengan atasan,
dan orang-orang yang mengelilinginya. Oiya, penampilan Ringgo Agus Rahman di
film ini adalah salah satu penampilannya yang terbaik. Ia juga sempat mengalami
patah kaki betulan hingga tiga bulan lantaran melakoni salah satu adegan.
Sementara Jefan Nathanio tampak memiliki potensi menjadi aktor handal nantinya.
Tema penceritaan film yang cukup jarang di Indonesia ini adalah alternatif
segar. Jika saja hubungan chemistry
antara ayah dan anak yang memang bagian fundamental sedikit diperdalam lagi,
mungkin Tampan Tailor akan tampil
lebih luar biasa. Walau begitu, Tampan
Tailor adalah film yang dapat
menyentuh segala lapisan masyarakat, yang layak disaksikan dan patut
diacungi jempol.
3/5
keren gan artikelnya, salam kenal ya gan
BalasHapusinfo kesehatan
Terima kasih, Mas Iwan. Salam kenal juga :D
HapusThx ya mas ulasan nya ... keren
BalasHapuswah sama-smaa mbak :)
BalasHapus