Sebuah lanjutan drama romantis kenamaan ciptaan Richard Linklater, susulan kisah dari Before Sunrise (1995) dan Before Sunset (2004) yang tentu saja masih tentang hubungan antara Jesse dan Celline. Terinspirasi dari seorang perempuan yang betul-betul menghabiskan malam dengan ngobrol sambil berjalan mengitari Philadelphia bersama Richard, film ini masih dengan patron khasnya dengan dialog-dialog yang bersahutan. Kadang cerita tentang masa lalu, lontaran uneg-uneg, atau hanya sekadar mengomentari falsafah hidup yang kerap membingungkan.
Dalam
Before Sunrise, Jesse (Ethan Hawke)
dan Celline (Julie Delpy) adalah wisatawan muda yang berkenalan di gerbong kereta
yang dalam sekejap kemudian menyusuri jalan-jalan Vienna sambil ngobrol
ngalur-ngidul tentang apa saja. Sembilan tahun kemudian, Ethan Hawke dan Julie
Delpy ikut ambil bagian dalam naskah Before
Sunset, di mana kedua orang ini diceritakan bertemu kembali di Paris dengan
masing-masing telah memiliki kehidupannya sendiri. Naskah tersebut—dengan
keambiguitasan ending yang
brilian—diganjar nominasi Oscar.
Sembilan
tahun kemudian (mengapa harus selalu sembilan tahun?) lahirlah Before Midnight. Film dibuka dengan
adegan Jesse melepas kepergian anaknya yang akan terbang ke rumah mantan istri
Jesse di Amerika, setelah menghabiskan liburan musim panas bersama ayahnya.
Keluar dari airport, Jesse sudah
ditunggu Celline dan dua putri kembar di mobil. Penonton pun kemudian tahu ke
mana arah ending Before Sunset. Film ketiga ini ber-setting di Yunani, dengan Jesse diundang dan menginap di rumah expat writer yang merupakan mentornya,
di sebuah rumah bohemian yang indah.
Before Sunrise bermain pada
kespontanitasan. Before Sunset,
adalah pertemuan kembali setelah bertahun-tahun—walaupun mereka sudah punya
keluarga sendiri—yang akan membuat penonton bertanya-tanya, akankah?
Mungkinkah? Pada Before Midnight, concern lebih kepada apakah waktu
memihak mereka dan perihal sekelumit kecemasan. “This is the day you light the ticking bomb that will destroy our
lives.”
Untuk
pertama kalinya kita akan melihat konflik yang “cukup serius” pada trilogi ini.
Letupan dimulai ketika Jesse membahas bahwa seharusnya ia lebih mengemong
putranya—hasil hubungannya dengan mantan istrinya. Jesse merasa bahwa ia
terlalu jauh dan tidak menjadi ayah yang sebagaimana mestinya. Pusaran konflik
ini adalah mengenai apakah mereka harus pindah ke Chicago atau tidak—karena
Celline tidak bisa melakukan itu. Percikan kecil itu jadi pembukaan konflik
yang oke nantinya. Delapan belas tahun berlalu, arah pembicaraan kini mengarah
lebih melankolis: apakah waktu akan menggerus mereka.
Seperti
ketika makan siang bersama pemilik rumah dan yang lainnya yang suasananya jadi
agak kurang nyaman—hanya bagi mereka berdua—ketika dalam obrolan santai,
Celline yang terus nyerocos tak sengaja kembali membahas Chicago. Raut muka
Jesse tentu saja berubah asem karena menganggap Celline berlebihan berasumsi.
Terpikir kembali mengenai “ticking bomb”.
Makin klop karena perempuan tua di meja makan tiba-tiba berfalsafah, “We appear and we disappear. And we are so
important to some. But we are just passing through.” Mereka semua kemudian
bersulang, tetapi kita tahu, Jesse dan Celline merasakan gelas yang mendadak
berat
Ethan
Hawke dan Julie Delpy kembali ambil bagian dalam pembuatan naskah bersama
Richard Linklater. Penampilan keduanya pun sangat baik. Jika ada yang harus
dikeluhkan mungkin terlalu banyaknya dialog pada bagian awal. Karakter keduanya
betul-betul mapan. Penampakan sudut-sudut Vienna dan Paris pada film
pendahulunya juga sedikit banyak mewakilkan karakter mereka. Kini di Yunani,
lanskap-lanskap tanah berbatu seakan menyiratkan hubungan keduanya. Kalaupun kita
merasa adanya pengulangan pola, kita akan memaklumi karena kita semua rindu pada percakapan khas ala Before
series
Paruh
akhir film adalah sajian utama Before
Midnight. Argumen-argumen realistis, memanas karena keinginan yang
bertentangan. Walau tidak berapi-api, kita bisa merasakan bahwa sebetulnya
kepala mereka ingin pecah. Bahwa dalam waktu-waktu yang membahagiakan,
sebetulnya mereka juga menginginkan hal yang berbeda. Richard Linklater
mengirimkan pesan bahwa cinta sejati bukanlah hanya menghanyut pada satu malam,
tetapi bagaimana mereka melibatkan kerja dan kompromi dan memberikan segalanya.
Pada adegan-adegan akhir, amat kentara bagaimana mereka coba menjawab itu.
Ending
dari Before series selalu apik—jika
tidak dikatakan monumental. Entah bagaimana itu jenis ending-nya. Richard Linklater memang punya kelebihan dalam
membangun urutan dan pengaturan yang cantik. Lihatlah percekcokan antara Jesse
dan Celline: seimbang, sama sekali tak berat sebelah. Before Midnight mungkin akan menyentil penontonnya—khususnya pengikut Before series—dengan
kemungkinan-kemungkinan asmara.
4/5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar