Pemuda gagah nan tampan dengan tato semrawut di badannya itu menghela nafas panjang sembari memain-mainkan pisau lipat miliknya. Sesaat kemudian pintunya digedor, “Show time!” Berlalulah ia membelah kerumunan karnaval (baca: pasar malam) menuju arena tempat ia biasa beratraksi. Atraksi yang di sini kita kenal sebagai: Tong Setan.
Luke
(Ryan Gosling) di sana bertemu dengan Romina (Eva Mendes), mantan kekasihnya
yang pernah ia tinggalkan begitu saja setahun yang lalu. Luke kemudian
mengantarkannya pulang dan ketika sampai di depan rumah, perempuan itu hanya
mengucapkan, “Just wanted to see you
again.” Kemudian melalui pancaran mata Luke kita bisa membaca perasannya
yang campur aduk. Belakangan kita ketahui bahwa ia kerap mampir ke tempat
Romina dan pada suatu kesempatan Luke justru bertemu dengan ibunda Romina yang
tengah menggendong seorang bayi. “He is
yours. You wanna hold him?” Dalam sekejap ada yang bergulung di balik
dadanya.
Luke
yang tidak ingin anaknya seperti dirinya—tumbuh tanpa ayah—mencoba bertanggung
jawab dengan akan mengurus Romina dan anaknya. Tetapi tentu saja dunia tak
semudah itu. “I haven’t heard from you in
over a year. You just took off.” Kemudian bertemulah Luke dengan Robin (Ben Mendelsohn) dan terencanalah
beberapa rangkaian perampokan bank karena dorongan tanggung jawab keayahannya
yang mendadak muncul—dan kemampuannya mengendarai motor yang sungguh
menakjubkan. Dari berbagai rangkaian kegiatan barunya tersebut, akhirnya Luke
bertemu dengan polisi lurus nan ambisius, Avery (Bradley Cooper), yang mendadak
menjadi pahlawan di Schenectady.
Penonton
mana yang sanggup menolak penawaran ini: Ryan Gosling dan Bradley Cooper berada
dalam satu film, pria kece Hollywood peraih nominasi Oscar. Ryan
Gosling juga bertemu lagi dengan Derek Cianfrance sang sutradara, setelah kerja
sama mereka dalam Blue Valentine empat
tahun silam. Belum lagi nama-nama seperti Eva Mendes dan Ray Liotta. Naskah
film ini sendiri pun juga berkat obrolan Derek dan Ryan di suatu waktu yang
mengungkapkan bahwa dalam hidup Ryan, satu hal yang keinginannya belum kesampaian
adalah merampok bank!
Derek
membagi film ini menjadi tiga babak. Babak pertama adalah lika-liku kehidupan
Luke. Pertemuannya dengan Romina dan anak bayinya, rasa tanggung jawab yang
meletup muncul, dan segala upayanya untuk taking
care of them. Babak kedua adalah penceritaan Avery, seorang polisi muda
yang lurus dengan ambisi besar yang berada di sekitaran polisi kotor dan ayah
yang kerap memojokkannya karena profesinya. Babak ketiga adalah penceritaan
mengenai anak Luke, Jason (Dane DeHaan) dan anak Avery, AJ (Emory Cohen) yang
menginjak usia remaja. Jalinan ketiga cerita ini erat hubungannya dan mempunyai
benang merah satu sama lain.
Cerita
keluarga dengan kepiluan semacam ini akan berhasil dengan skenario yang rapi
dan dialog yang jujur serta chemistry
antar setiap pemain. Dan di sini semuanya terasa cocok dan pas. Film ini sebetulnya
bermain pada wilayah yang mungkin dekat dengan kita: perbuatan manusia yang tak
bisa begitu saja dijelentrehkan sebagai hitam dan putih. Di dalam keambiguitasan
sikap dan perilaku seseorang yang berjuang, banyak hal yang sebetulnya tak dapat
disederhanakan begitu saja.
Di
paruh film kita disuguhkan kenyataan bahwa kedua tokoh, Luke dan Avery,
mempunyai anak. Dan—kemudian Derek membawa kita ke lima belas tahun ke
depan—yang disajikan pada penceritaan pada babak ketiga adalah hubungan Jason
dan AJ yang tak sengaja berteman dan bagaimana akhirnya sikap mereka setelah
menerima informasi yang mengejutkan tentang masa silam. Memang, pada bagian ini
agak terseret-seret dengan logika yang agak dipaksakan. Film ini mengalami ujiannya ketika saat film mencapai puncak ketegangannya dengan kisah
Luke, tiba-tiba cerita dan karakter seperti dipaksa berganti untuk masuk pada
babak kedua. Sama sekali tidak buruk, tetapi ketegangan dan momen-momen
menyentuh yang ada pada babak pertama seperti dijarah begitu saja. Dan memang,
yang paling bersinar dalam film ini adalah kisah Luke dengan segala dinamikanya.
The Place Beyond the Pines menampilkan seni peran berkelas,
wabil khusus Ryan Gosling. Pengembara flamboyan yang tercebur pada kenyataan
yang menohoknya, yang membuatnya obsesif untuk melakukan apa pun yang dirasa
perlu. “Look, I wanna take care of you. I
wanna take care of my son. That’s my job.” Eva Mendes juga bersinar sebagai
perempuan yang kuat. Ia tidak mengharapkan Luke kembali, ia menghormati
kehidupannya saat ini, dan ia membiarkan kata-kata—kenyataan—meluap di depan
Luke, walau akhirnya laki-laki tersebut mengetahui sendiri seperti apa
kenyatannya. Bradley Cooper rasa-rasanya juga belum pernah sebaik ini. Seorang
polisi yang hidup dalam lingkungan manipulatif dan penuh strategi ketika ia
berusaha disingkirkan. Ben Mendelsohn juga tampil seperti sosok yang kita bayangkan:
partner in crime Luke yang kompak
karena pengalaman dan kematangannya, tetapi kadang juga menyebalkan. Mendelsohn
yang selalu kesepian itu melongo ketika Jason menghampirinya, “You’re Luke Glanton’s son?” Katanya
dengan nada pelan padahal kita semua tahu jantungnya tentu saja ingin meloncat
keluar. Akting duo remaja Dane DeHaan dan Emory Cohen juga apik. Dane berhasil
mewarisi sifat Luke yang dingin sedangkan Emory berhasil tampil sebagai remaja
kaya raya tipikal: doyan party, loyal, tetapi merengek ketika digentak ayahnya.
Derek
bukan hanya menyajikan drama. Ia juga mengirim cerita pahit tentang takdir,
tentang resultan masa lampau. Drama panjang yang emosional sekaligus
memberikan akhir dengan rangkaian spekulatif yang tak membutuhkan kata.
4/5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar